Novel Laskar Pelangi Bagian 31 (Zaal Batu)
Dua belas tahun kemudian ......
SEORANG wanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi!
"Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini," kata Dahroji. la pergi menahan murka.
Wanita
itu mengamatiku baik-baik. Dandanan-nya, huruf "r" dan "g" yang keluar
dari tenggorok-annya, tarikan alisnya, serta gayanya memandang,
mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar negeri dan ia muak
dengan semua ketidakefisienan di negeri ini.
Agaknya
ia memiliki masalah yang sangat ga-wat. Ya, memang gawat, surat
restitusi bea masuk lukisan dari luar negeri yang dikirim oleh kantor
Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir. Seharusnya ia masuk
kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur.
Human error \
Telah
tiga kali aku keliru minggu ini. Alasanku karena overload. Dahroji,
ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam
dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal.
Aku memandang kuyu pada tiga karung surat bercap Union Postale
Universele ketika nyonya yang masih seksi itu komplain. Sejenak aku
benci pada hidupku yang kacau balau. Salah satu ciri hidup yang tak
sukses adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi.
Tapi sekian lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara
fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetar-getar
seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.
"Hoe
vaak moet ik je dat nog zeggenW" har-diknya sambil melengos pergi.
Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali
masih saja keliru!
Dan
kembali aku termangu-mangu menatap ti-ga karung surat tadi. Setelah
terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras
menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus
termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos, tukang
sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.
Aku
sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun
yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama
telah lenyap, kandas di dalam kotak-kotak sortir surat. Bahkan rencana
Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan kehidupan
sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku masih menyimpan
komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis.
Buku
itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung,
seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku
telah melakukan riset yang intensif di federasi bulu tangkis dan komite
olahraga nasional serta menga-mati kehidupan sosial beberapa mantan
pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren
terbaru pengembangan kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi
menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbangan komersial. Mereka lebih
tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku yang penuh
tulisan jorok seperti kondom, masturbasi, dan orgasme karena buku-buku
semacam itu lebih mendatangkan keuntungan. Mereka, para penerbit itu,
telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano.
Aku
berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama-nyamakan diriku
dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya
bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak keberatan menjadi Mary Shelley
yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang dalam
kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis dan Pergauian dapat menjadi
sebuah karya fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya
itulah sumbanganku untuk kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha
menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati lemas ditumpuki kegagalan
demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak
Harfan
dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun
pada titik ini dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan
technical knock out.
Pada
suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku
menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah disket.
Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat setengah kilo
berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari
menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku
bergenre humaniora itu sambil meme-jamkan mata dengan hati yang redam
kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak tersangkut di celah
batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir
kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.
Aku
ingin melarikan diri ke satu-satunya tern-pat yang paling indah dalam
hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa
cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu yang mengelilinginya,
dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah
Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dari
buku Herriot yang sangat kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin
sukar hidupku, semakin sering aku membacanya. Sayangnya aku tak bisa ke
Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam
khayalanku.
Setiap
pulang kerja aku sering duduk melamun di pokok pohon randu, di pinggir
Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku
memprotes Tuhan:
"Ya,
Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan
pemain bulu tangkis maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos!
Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh..!!"
Tuhan
menjawab doaku dulu persis sama se-perti yang tak kuminta. Begitulah
cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan
variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier maka Tuhan tak lain adalah
musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu
Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh. Tuhan tidak tunduk pada
postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak
dapat diramalkan.
Maka
inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro
statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada
sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap hari, dan berada
dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab
sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya
sepanjang waktu aku meloncat-loncat di antara garis miskin itu,
tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak lembur
maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan
berpenghasilan menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak
membuat parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi
singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57% rakyat miskin yang
ada republik ini.
Hidup
membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran
usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi
identitasku adalah pria yang kesepian. Orang marketing melihatku sebagai
target market produk-produk minyak rambut, deodoran, peninggi tubuh,
peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya
peningkatan kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara
hanya mengenalku me-lalui sembilan digit nomor, 967275337, itulah nomor
induk pegawaiku.
Tak
ada bahagia pada pekerjaan sortir. Peker-jaan ini tidak termasuk dalam
profesi yang ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari
berkubang dalam puluhan kantong pos dari negeri antah berantah. Masa
depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin berobat
melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan
siapa-siapa.
Setelah
usai bekerja aku terlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku menderita
insomnia. Setiap malam antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita
wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku bangun pagi-pagi buta
ketika orang-orang Bogor masih meringkuk di tempat tidur mereka yang
nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, ter-seok-seok menuju kantor
pos melewati bantaran Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk
kembali menyortir ribuan surat. Saat orang-orang Bogor bangun dan
mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku
juga sarapan makian dari madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang,
masa depanku tak jelas dan aku sudah tak punya konsep lagi tentang masa
depan. Semuanya serba tak pasti. Vang kutahu pasti cuma satu hal: aku
telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri
tanggal 17.
Hanya
Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. la cerdas,
agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku
memanggilnya awardee karena ia baru saja menerima award sebagai
mahasiswa paling bermutu di salah satu universitas paling bergengsi di
negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan
psikologi. Ayah Eryn, abangku, terkena PHK dan aku mengambil alih
membiayai sekolahnya.
Lelah
seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa
positifnya, dan intelegensia yang terpancar dari sinar matanya. Aku
rela kerja lembur berjam-jam, membantu menerje-mahkan bahasa Ing-gris,
menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini
meng-gadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling berharga demi
membiayai kuliahnya. Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma
bagiku. Kadang-kadang aku bekerja begitu keras demi Eryn untuk
menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn
menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun, hidupku masih
berguna. Tak ada yang dapat dibanggakan dalam hidupku sekarang,
tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang penting. Eryn adalah
satu-satunya arti dalam hidupku.
Saat
ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak.
Sudan belasan kali hal ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester
lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya untuk mencari topik
skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya
melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah
ditulis. Aku melirik, benar saja, sudah tiga puluh orang yang menulis
tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis topik tentang
kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung
yang telah menulis skripsi mengenai autisme.
Pembimbingnya
menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat
terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku
setuju dengan pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep
tentang sesuatu yang berbeda itu. Dari pembicaraannya yang meluap-luap
aku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala psikologi di mana
seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak
bisa melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan
tema tersebut, pembimbingnya setuju.
Masalahnya
adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak
kunjung mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa kasus dependensi
tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan
perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis
mendalam. Eryn mencari sebuah kasus ketergantungan yang akut.
Ia
telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen
universitas, lemba-ga-lembaga yang menangani kesehatan mental, dan para
dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri, tapi hampir empat bulan
berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi.
Namun
agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan
sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan
sampul resmi yang bagus sekali, dari sebuah rumah sakit jiwa di Sungai
Liat, Bangka.
"Awardee1.Seseorang dari rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu .,„¦" kataku setiba di rumah kontrakanku.
Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira.
"Alhamdullilah, finally1. Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!"
Eryn
telah menemukan kasusnya. Seorang dok-ter senior profesor tepatnya yang
menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa
kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di sana. Dokter itu juga
mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk
beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena
prestasi kuliahnya.
Eryn
memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku
menolak, bukankah semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula
Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Kami akan
sekalian pulang kampung setelah ia riset.
Rumah
sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya
Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu.
Karena di Belitong tidak ada rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang
maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering dikirim melintasi
laut ke rumah sakit jiwa ini. Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong
selalu memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit,
dan putus asa.
Sore
itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar
bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua
berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami
melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan
bermotif jajaran genjang simetris.
Beberapa
jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-deret di sepanjang
selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa
lainnya. Pintu-pintu besi dengan gembok besar, kamar obat berisi
botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang
berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau
memandang aneh. Terdengar lamat-lamat suara cekikikan dan teriakan
beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan para perawat di
halaman rumah sakit yang luas.
Setelah
melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang
dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti di situ.
Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia tahu kami
sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan
panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menam-pung beberapa pasien.
Mereka mengikuti gerak-gerik kami dengan teliti.
Eryn
tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih
melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien
berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu bahwa
orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh
tekanan, kesedihan, dan beban. Beberapa di antaranya bersimpuh di lantai
atau mengguncang-guncang jerejak besi di jendela.
Aku
memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi.
Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak sendiri berselang-seling.
Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang kaki manusia. Di sela-sela kaki
itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah sakit
jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.
Kami
kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua
lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang
panjang. Sisi kiri kanan lorong adalah kamar-kamar perawatan. Suasana di
lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu
terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar
suara orang meratap dari balik pintu-pintu tertutup itu.
Aku
mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan.
Seorang pria berusia enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum.
Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal wajah yang sering tersiram
air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau
mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang
intelektual yang rendah hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini
memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat santun beliau
menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Yan.
"Ini
kasus mother complex yang sangat eks-trem ...," kata profesor itu
dengan suara berat, itu seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya.
"Tiga
puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal
semacam ini. Anak muda ini sedikit pun tak bisa lepas dari ibunya. Jika
bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit histeris.
Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya sendiri sekarang
hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir selama
enam tahun ...."
Aku
tersentak miris mendengar penjelasan be-liau. Eryn sendiri terperanjat.
Ia berusaha mengu-atkan diri mendengar kenyataan yang menghan-curkan
hati itu. Aku menatap wajah Profesor Yan. Ia adalah dokter jiwa yang
amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus
ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang-orang yang
mendedikasikan hidupnya pada bidang ini.
Penjelasan
Profesor Yan melekat dalam pikiran-ku. Aku merinding karena merasa
getir pada nasib anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang
tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal. Orangtua mana yang mampu
menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan?
Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak
memerlukannya sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam
tahun terpuruk di sini, betapa mengerikan. Kadang-kadang nasib bisa
demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang malang itu?
Profesor
Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling
ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka
pintu pelan-pelanm. Aku gugup memba-yangkan pemandangan yang akan
kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan seberat itu? Apa
sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka
pintu. Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.
Kami
berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan
dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan
bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan hanya berasal
dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap.
Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot
lampu tak tampak perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun
jauh di sudut ruangan.
Dan
di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk
berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya.
Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu sangat asing dan
mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan.
Dalam
cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat
kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jam-bang, alis,
dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air mukanya menimbulkan
perasaan iba yang memilukan. la berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja
putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya
bersih mengilap.
Usianya
kurang lebih tiga puluhan. la ketakutan. Sorot matanya yang teduh
melirik ke kiri dan ke kanan. la gugup dan sering menarik napas panjang.
Ibunya
kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran
matanya menyimpan kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan
rasa pedih yang dalam. Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam
dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai
sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas
memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak
tertahankan.
Mereka
berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang
anak mengapit lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan
dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup menanggungkan pemandangan memilukan
ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi
ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti.
Aku tak tahan me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini.
Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak berdaya. Aku
minta diri keluar dari ruangan yang menyesakan dada itu.
Hampir
selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam
melakukan semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu.
Dari pintu yang terbuka aku dapat melihat mereka berempat duduk di
bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.
Kemudian
wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan
pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum
seramah mungkin walaupun hatiku hancur membayangkan penderitaan mereka.
Aku menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya.
Lalu pelan-pelan kami pamit keluar ruangan.
Profesor
Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar
ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan
menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat karena mendengar
seseorang me-mang-gil namaku.
"Ikal
...," suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka
terhe-ran-heran, apa-lagi aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang
lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi.
Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami
berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.
"Ikal ...," panggilnya lagi.
"Mereka memanggil Cicik!" teriak Eryn mena-tapku takjub.
Salah seorang dari pasien itu jelas memanggil-ku.
Aku
memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan
hati-hati. Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit.
Aku mengamati mereka baik-baik, berusaha keras mengenali kedua tubuh
ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masing-masing dengan
jari-jari yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai
panjang semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abu-
abu. Pipi anaknya basah karena air mata yang mengalir pelan. Air matanya
itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan
namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menungguku,
tangannya menjangkau-jangkau. Ibunya terisak-isak dan menutup wajah
de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun dan masih
diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk
mengamati mereka lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang
menutupi wajahnya dan pada saat itu aku tersentak tak alang kepalang.
Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil. Rangka
badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas.
Aku tak percaya dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan
amat pedih. Aku ingin berteriak dan meledakkan tangis. Aku mengenal
dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka adalah Trapani
dan ibunya.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 32 (Agnostik)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.