Novel Laskar Pelangi Bagian 32 (Agnostik)
Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu
TOKO
Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika
bus reyot yang membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya
aku melihat toko yang bernama Sinar Perkasa. Di situ ada seorang
laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli toko.
Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti
samurai. Lengan bajunya digulung tinggi-tinggi. la sengaja
memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan tapaknya ia
senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak
tanggung-tanggung: dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda
dikalungkan di lehernya, dan plastik-plastik kresek serta tas-tas
belanjaan bergelantungan di lengan kiri kanannya. Ia seperti toko
kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang
nyonya gemuk yang memborong segala macam barang itu.
Setelah
memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi
tadi menerima sejumlah uang. la mengucapkan terima kasih dengan menunduk
sopan lalu kembali ke tokonya. Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai
sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada
juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang
dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik.
Wajah keduanya tak lekang dimakan waktu.
Aku
tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa
dulu aku pernah memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk
kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang masih berjejal-jejal di situ. Aku
juga merasa ber-untung telah menjadi orang yang pernah mengung-kapkan
cinta. Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena
kejadian itu merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah
berevolusi. Dan agaknya cinta pertamaku dulu amat berkesan karena ia
telah melam-bungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus membuatku
menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk
di toko itu.
Kita
dapat menjadi orang yang skeptis, selalu curiga, dan tak gampang
percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu
kasih yang tulus lebih dari cukup untuk mengubah seluruh persepsi
tentang cinta. Paling tidak itu terjadi padaku. Meskipun kemudian
setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan amat buruk,
aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku
ajaib di Toko Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku
tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran cinta seindah lukisan taman bunga
karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku menjumpai A Ling
lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling
sekarang adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu
kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong mata. Ia dulu adalah venus dari
Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu.
Aku
mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang
dihadiahkan A Ling padaku sebagai kenangan cinta pertama kami. Bus reyot
yang terlonjak-lonjak karena jalan yang berlubang-lubang membuat aku
tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar Harapan
perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup
merupakan jalinan aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau
hidup tak ubahnya se-kotak cokelat seperti kata Forest Gump. Jika
membuka kotak cokelat kita tak 'kan dapat menduga rasa apa yang akan
kita dapatkan dari bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah
benda kecil yang tak penting atau suatu kejadian yang sederhana pada
masa yang amat lampau dapat saja menjadi sesuatu yang kemudian sangat
memengaruhi kehidupan kita.
Buku
itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa
seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang
selalu kubawa ke mana-mana itu. Dulu ketika frustrasi karena berpisah
dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan pasar
berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit
Derbyshire telah menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika
kehidupanku di Bogor berada pada titik terendah aku perlahan-lahan
bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh
utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan
Kemuham-madiyahan, Herriot juga mengajariku tentang optimisme dan
bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.
Seminggu
setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca
sebuah pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing.
Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian
setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusia-siakan selain untuk
belajar. Aku membaca seba-nyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil
menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan
wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di
dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil
disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air,
atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca.
Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT,
dan aturan-aturan tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang
paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang
malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk
belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat
resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan
keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertas-kertas kecil itu
kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantong-kantong surat dari
truk.
Di
rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata
malah mendukungku. Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif
karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan untuk membaca. Jika kelelahan
belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka buku
Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot
menghadapi kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire
yang sangat skeptis, keras kepala, dan antiperubahan. Dari buku itu
juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin bertiup
merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan
astuaria. Membaca semua itu semangatku kembali terpompa dan hatiku
semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru.
"Aku
harus mendapatkan beasiswa itu!" demi-kian kataku dalam hati setiap
berada di depan kaca. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu
karena bagiku ia adalah tiket untuk meninggalkan hidupku yang terpuruk.
Lebih dari itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu
Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.
Kemudian
tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan,
diawali dengan sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak
bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada
tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir merupakan
sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara
akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan
tapi senang bukan main pada rokok.
"Disgusting habit!"Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film.
Aku
mengenakan pakaian rapi dan untuk per-tama kalinya. Berdasi, memakai
sedikit minyak wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map
yang tak tahu berisi apa. Aku telah menjadi tipikal orang muda yang
spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan sesungguhnya.
Bapak
perokok itu memanggilku, mempersilakanku duduk di depannya, dan
mengamatiku dengan teliti. Barangkali ia berpikir apakah anak kampung
ini akan bikin malu tanah air di negeri orang. Lalu ia membaca
motivation ietterku yaitu suatu catatan alasan dari berbagai aspek yang
dibuat peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa.
Mantan
menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama
sekali tidak mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu
diendapkannya sebentar di dalam rongga dadanya. Matanya terpejam ketika
menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang mengerikan
ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku
perih, aku menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di
depan-ku ini memegang tiket masa depanku dan tiket itu amat kuperlukan.
Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya dengan senyum basi ala
pramugari sementara perutku mual.
"Saya
tertarik dengan motivation ietter Anda, alasan dan cara Anda
menyampaikannya dalam kalimat Inggris sangat mengesankan," katanya.
Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.
"Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata," kataku dalam hati.
Lalu
sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang
yang akan kutekuni, materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan
beasiswa nanti.
"Ahhhh, ini juga menarik ...."
la
ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat
dicintainya itu lebih penting maka ia kembali memenuhi dadanya dengan
asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga dada dan seluruh
isinya pasti telah berwarna hitam. Bapak ini terkenal sangat pintar
bukan hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak
kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia bisa menjadi demikian bodoh
dalam persoalan rokok ini?
"Hmmm
... hmmm ... sebuah topik yang me-mang patut dipelajah lebih jauh,
menarik sekali, siapa yang membimbing Anda menulis ini?" beliau
tersenyum lebar dan asap masih mengepul di mulutnya.
Aku
tahu pertanyaan itu retoris, tak memerlu-kan jawaban, karena dia tahu
seseorang tak mungkin dibimbing untuk membuat proposal ter-sebut, maka
aku hanya tersenyum.
"Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muham-madiyah, A Ling, dan Herriot!" Itulah jawaban yang tak kuucapkan.
"Saya
telah lama menunggu ada proposal riset semacam ini, ternyata datang
dari seorang pegawai kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak
muda?"
Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. "Edensor!" Bisik hatiku.
Maka
tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah
kecil aku merasa telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat
menilai hidupku dari perspektif yang sama sekali berbeda. Aku lega
terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu
Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan
Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku
pelajaran berharga. Sekolah Muham-madiyah dan persahabatan Laskar
Pelangi telah membentuk karakterku. A Ling, Herriot, dan Edensor telah
mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat menjadi
begitu menak-jubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan
sortir, tapi orang-orang hebat kawan sekerja di kantor pos Bogor telah
mengajariku arti integritas bagi sebuah badan usaha dan makna dedikasi
pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah.
ADA
orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai
mereka mati, sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar
hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis dengan
pengarang yang tak pernah dikenal. Jika malam tiba mereka
mendengus-dengus meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel
tak berani mendeklarasikan cinta yang menggelitik perutnya. Cintanya tak
pernah terungkap karena ngeri membayangkan risiko ditolak. Lama-lama,
seperti seorang narsis, mereka menyukai mencintai seseorang di dalam
hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak terperi. Mereka
hidup dalam bayangan. Meng-ungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik
paling misterius dari cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong
selama belasan tahun.
Hampa
karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat
menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya
kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun, oleh karena itu ia tidak
pernah beribadah. la mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam hatinya
untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia
berkelana mengamati agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan
tentang keyakinan dan konsep keadilan Tuhan. Hari demi hari ia semakin
sesat. Ia kafir bagi agama mana pun.
Namun,
menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara
azan ia sering disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke
dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan melelehkan air matanya.
Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya merenung.
Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari
dengungan azan magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik
memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram dari lipatan-lipatan
ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang belulangnya hancur
dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia
merangkak-rangkak memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk
diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta agama ini, bagian dari sebagian
kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah*.
Ia
memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak
Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya:
Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman. Nama yang sangat hebat. Artinya
tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya. A Kiong tinggal
sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi
muslim yang taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih
merisaukannya.
Penerima
cahaya ini menceritakan dengan se-penuh jiwa kepadaku bahwa yang
merisaukannya itu adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta
yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu kalau Nur Zaman selama ini
telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat
malam-malamnya gelisah.
"Aku
lemas karena paru-paruku basah digena-ngi air mata rindu," demikian
ungkapan perasaannya padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa
juga puitis.
"Berhari-hari
terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi
kupikirkan lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul
hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak bisa tidur ...," kenangnya.
Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan.
Lalu
setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan
basmallah, ia menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya,
menyatakan keinginannya melamar. Ia pasrahkan semua keputusan kepada
Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak. Ternyata
wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya.
Terberkatilah mereka yang berani berterus terang. Wanita itu adalah
Sahara.
Sekarang
mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul
Sinar Perkasa tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan
memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah pria raksasa berambut
sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson.
Jika
waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang
kucingnya yang berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang
tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal tiga. Sahara mendengarkan
penuh perha-tian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap
dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang
terperangkap dalam alam pikiran anak kecil.
"Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria," kata Nur Zaman padaku.
Ingatkah
akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan?
Klise! Tidak, sama sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria
terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan
Tuhan. Ia berhasil mene-mukan kebenaran hakiki melalui penderitaan
pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang seperti ini.
BUS
reyot itu menurunkan aku di seberang ja-lan di depan rumah ibuku. Aku
mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti wart a berita
pukul 12. Sebuah siang yang panas dan sunyi. Dan kesunyian itu bubar
oleh suara klakson panjang dari sebuah mobil tronton kapasitas sepuluh
ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter
satu meter.
Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir gelas ini.
"Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek," teriaknya.
Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun pergi meninggalkan debu.
Esoknya
aku berkunjung ke bedeng proyek pa-sir gelas sesuai undangan sopir
kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih
seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan sopir truk
pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat
waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati ribuan ton
kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan
kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.
Aku
masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada
tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok
bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus rokok Jambu Bol, dongkrak,
beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya serba
kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi,
dan mi instan berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang
terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar wanita berbikini tergantung
miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek
kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot
dibanding bulan lainnya.
Pria
yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari
puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan,
dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. la kotor, miskin, hidup
membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.
Aku
tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib.
Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan
ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak
pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak.
Rambutnya
semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini
menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.
Aku
masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini ber-diri di atas tanah semacam
semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara ... Bum
...! Bum ...! Bum ...! Aku melihat ke luar jendela sebelah kananku.
Sebuah tug-boat* penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng.
Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap
hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut
memecah tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni
karena digenangi minyak.
Kupandangi
terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak
bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari
tadi mengamatiku membaca pikiranku.
"Einstein's
simultaneous relativity...," katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum
getir. Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.
Aku
juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara
imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua
sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka memiliki persepsi yang
berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks
yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.
Tak
lama kemudian aku mendengar lagi suara bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah
tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan dengan arah
tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis
melewatiku maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang
ke dua tugboat yang melewatiku secara berlawanan arah.
Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu mem-buatku tercengang.
"Paradoks ...," kataku.
"Relatif...," kata Lintang tersenyum.
Aku
menyebut paradoks karena ukuran yang kuper-kirakan sebagai subjek yang
diam akan berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun
untuk tugboat yang sama.
"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif," sanggah Lintang.
"Ukuran
objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan
hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif.
Einstein membantah Newton dengan penda-pat itu dan itulah aksi oma
pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein."
Ugghh,
Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk
berhenti mengagumi tokoh di depanku ini. Man tan kawanku sebangku yang
sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp1.
Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng
diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap
mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang
yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh
melebihi mereka.
Aku
termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku
melayang membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas
badan dari bahan rajutan poliester, melapisi kemeja lengan panjang
berwarna biru laut, naik mimbar, membawakan sebuah makalah di sebuah
forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang
biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.
Mungkin
ia lebih berhak hilir mudik keluar ne-geri, mendapat beasiswa
bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku dirinya
intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa kontribusi apa
pun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku
ingin membaca namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku
ingin mengatakan pada setiap orang bahwa Lintang, satu-satunya ahli
genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon Pascal
sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan
integral sejak usia demikian muda, adalah murid perguruan Muham-madiyah,
temanku sebangku.
Namun,
hari ini Lintang ternyata hanya seor-ang laki-laki kurus yang duduk
bersimpuh menunggu giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun
yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk
menjawab soal matematika yang rumit atau untuk meneriakkan Joan d'Arch!
Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami. Kini ia
terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku
sering berangan-angan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu
pertama yang menjadi matematikawan. Tapi angan-angan itu menguap, karena
di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku berakhir.
"Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan ...."
Dan
kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah,
aku kecewa pada kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti
sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok
pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang
menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.
ALASAN
orang menerima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar
biasa.Adaorang yang senang menjadi kondektur karena hobinya jalan-jalan
kelilingkota, ada yang gembira memandikan gajah di kebun binatang karena
hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luarkotaagar
dapat sekian lama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang
menyortirsuratuntuk alasan apa pun. Oleh karena itu, ketika 10
karungsuratditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan
tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang
meninggalkan meja sortir itu, tak pernah kembali.
Sebagian
orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita-citanya, sebagian besar
tak pernah sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya
sekarang, dan sebagian kecil memilih profesi karena pertemuan dengan
seseorang.
Pertemuan
dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak
percaya, tanyakan itu pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de
Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan pesan beliau yang berbunyi:
"Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!" Ternyata menjadi kata-kata
keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka.
Pada
hari Sabtu, sehari sesudah Mahar mem-baca pesan Tuk, kami
berdesak-desakkan di jendela kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu
Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu berdiri mematung dan tak
banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian men-cium
tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah
berakhir dengan damai. Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de
Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi yang biasa saja, kami menerima
kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo datang
ke sekolah mengenakan jilbab.
Mahar
dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah
total. la dulu seorang wanita yang berusaha melawan kodratnya namun
akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum dalam hidupnya jelas terjadi
karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu Mahar
dan Tuk Bayan Tula. Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo
menempuh perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di
Univer-sitas Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong
Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia
menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit,
dan keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan
memberinya dua kali persalinan yang melahirkan empat anak laki-laki yang
tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali anak kembar!
Pesan
Tuk Bayan Tula telah memberi pence-rahan bagi para anggota Societeit,
bahwa tak ada yang dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional.
Sebuah pencerahan terang benderang yang datang justru dari seorang
tokoh dunia gelap, manusia separuh peri, bahkan banyak yang
menganggapnya manusia separuh iblis.
Paraanggota
Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun
mereka kaya raya akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya
untuk mencari kebenaran hakiki. Mereka memastikan setiap kesangsian,
membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta menga-lami sendiri apa yang
hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin
tahuan manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah
orang-orang yang menjemput hidayah dan tidak duduk termangu-mangu
menunggunya. Kini mereka menjadi orang-orang Islam yang taat yang
menjauhkan diri dari syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ
tunggal itu, mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah
dan mengislamkan komunitas-komunitas terasing di pulau-pulau terpencil
di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusia-manusia baru yang
dilahirkan dari kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di
bawah siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati.
Tuk
Bayan Tula sendiri tak ada kabar berita-nya. Anggota Societeit adalah
manusia terakhir yang melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut)
terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh TNI AL, Pulau Lanun
sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul
dan tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut.
Adapun pensiunan syah bandar yang dulu mengumandangkan azan ketika
anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang menjadi muazin
tetap di Masjid Al-Hikmah
Nasib,
usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk
manusia dalam lena. Mereka yang gagal tak jarang menyalahkan aturan main
Tuhan. Jika me-reka miskin mereka mengatakan bahwa Tuhan, melalui
takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin.
Bukit-bukit
itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit
dipahami sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir
akan mengubah nasibnya. Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting
tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya tak 'kanberubah karena
semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda
para pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup
dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam
keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap mendapat buah. Sedangkan
hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing hitam
di dakan kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk
hipotesis ini.
la
hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang
genius yang kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung
jawab pada keluarga. Mahar tak bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah
di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak ibunya sakit-sakitan
karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam
karena ayahnya telah meninggal.
Mahar
pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir
menyapanya. Ia mengharapkan su-rat panggilan dari Pemda untuk tenaga
honorer. Ketika itu ia berpikir kalau takdir menginginkannya menjadi
se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara berpikir
seperti itu tak berhasil.
Maka
ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya
menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi
permainan anak tradisional. Dokumentasi itu ber-kembang ke bidang-bidang
lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset
kebu-dayaan yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku.
Jika
dulu ia tak menulis artikel maka ia tak 'kanpernah menulis buku.
Melalui buku-buku itu ia tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya.
One thing leads to another. Dalam kasus Mahar nasib adalah setiap
deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dari setiap
gerakan-gerakan konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titik-titik
itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan mengor-ganisasi berbagai kegiatan
budaya.
Tentu
saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya
maka honor kecil tapi rutin juga Mahar peroleh dari orang pesisir yang
meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. la sangat ahli
dalam bidang ini. Dalam tiga minggu seekor beruk sudah bisa
mengguncang-guncang kelapa untuk membedakan mana kelapa yang harus
dipetik.
Lain
pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut
agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima
perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti menjadi orang yang paling tak
penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang, pengurus
konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat, dan jika makan paling
belakangan. Ia adalah kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia
tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi
mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih
dari itu ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama
sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan hanya
untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak becus.
Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak
pernah berhenti menyadarkannya dari mimpi itu, bahkan bertubi-tubi
mencemoohnya. Namun tak disangka di balik kelembutannya ternyata Syahdan
adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam. Setelah
SMA ia berangkat keJakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk
menjadi aktor dari satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya
bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja. Aneh, setelah lebih dari
setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor!
Sayangnya
sampai hampir tiga tahun berikut-nya ia masih saja seorang aktor
figuran. Lalu ia bosan berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh:
tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya yang mini dan berkulit
gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara
tradisional kecil yang sering manggung di pinggiranJakarta. Tugas ini
itu-nya itu antara lain memikul genset dan mencuci layar panggung yang
sangat besar. Lebih dari semua itu, menjadi figuran dan pesuruh ternyata
tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan
yangmalangiseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan
mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang diJakarta.
Di
luar dugaan, orang lain umumnya menge-tahui bakatnya ketika masih belia
tapi Syahdan baru tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer
justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa
pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work designer.
Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course
di bidang computer net-work di Kyoto University, Jepang. Disanaia
berhasil men-capai kualifikasi keahliannya dan menjadi salah satu dari
segelintir orangIndonesiayang memiliki sertifikat Sisco Expert Network.
Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput
putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah
telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah
perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang.
Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang
paling sukses. la yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang
angkat-angkat, dan tak becus terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini
memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak buah.
Namun
Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor
sungguhan. Suatu hari ia meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa
basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini dan tanpa sempat aku
berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya.
"Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktor!!11Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya ka-rena ia adalah seorang pejuang.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 33 (Anakronisme)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.