Novel Laskar Pelangi Bagian 30 (Elvis Has Left the Building)
KAMI sedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan pendiriannya, tak mau kalah.
Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Puiau Putri yang dibintangi S. Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita. Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.
Kami menonton film yang diputar sehabis ma-grib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi.
Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang.
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga terpampang peringatan keras "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK".
Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Putau Putri tersebut adalah film horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya dengan semacam krim dan lari berlarian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai.
"Asyik," kata Kucai berbinar-binar.
Namun, perkiraan kami meleset. Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan lari terbirit-birit. Dari belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah, tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak lainnya ambil langkah seribu, kabur dari bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.
Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kiri hampir sama sekali tidak menonton. la bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong. A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku. Aku dan Trapani di ketiak Mahar.
Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta.
Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk tangan.
Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es.
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S. Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu.
"Tahukah kau justru Bagyolah yang diuber-uber nenek sihir sepanjang film itu," Samson berkeras.
"Mana mungkin," bantah Kucai.
"Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan," serang A Kiong.
Samson masih berkelit, "Apa kau sendiri me-nonton? Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang tak sem-bunyi."
Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, "Semua pria brengsek!" katanya ketus.
Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.
"Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan ber-arti kami tak tahu jalan ceritanya," Mahar memojokkan Samson.
Demi mendengar kata "melirik sekali-sekali" itu Sahara semakin jijik.
"Semua pria menyedihkan!"
Samson membalas Mahar, "Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!"
Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya.
Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun. Belakangan ini Trapani semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak ingin citranya sebagai pria macho hancur hanya karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik negeri ini.
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muham-madiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.
Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.
Seorang
anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah,
harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman
yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk
melanjutkan sekolah. la sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah
paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah
lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang.
Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki
satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung
anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini,
hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah pohon fiiicium kami akan
mengu-capkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum
dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun
duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan
Syahdan berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan tujuan
menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo,
yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat
muram. la menunduk diam, matanya berkaca-kaca.
Baru kali ini aku melihatnya sedih.
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecer-dasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassio-peia yang meledak dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya, memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.
Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lum-bung padi yang behimpah ruah.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meron-ta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya huh rendah di pohon filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa mening-galkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, pehh sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami se-sungguhnya adalah kumpulan persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang mener-bangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.
Baru kali ini aku melihatnya sedih.
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecer-dasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassio-peia yang meledak dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya, memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.
Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lum-bung padi yang behimpah ruah.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meron-ta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya huh rendah di pohon filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa mening-galkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, pehh sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami se-sungguhnya adalah kumpulan persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang mener-bangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 31 (Zaal Batu)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.