Novel Laskar Pelangi Bag 13 (Jam Tangan Plastik Murahan)
SETELAH
tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltz kami menemukan Mahar sebagai
lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas
kami yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang.
Sebaliknya, otak sebelah kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka
berdua membangun tonggak artistik daya tarik kelas kami sehingga tak
pernah membosankan.
Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar memiliki harnpir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 14 (Orang - Orang Sawang)
Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar memiliki harnpir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.
Lintang
dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas,
atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang
berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam
bidangnya masing-masing. Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari
sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah
di atas kertas bergaris tiga.
Dan
di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti
orang-orang dungu yang ditantang Columbus mendirikan telur. Karena
Lintang dan Mahar duduk
berseberangan
maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis
penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.
Jika
tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik
bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan
baling-baling yang disambungkan dengan motor yang diambil dari tape
recorder dan ditenagai dua buah batu baterai. Ia membuat perhitungan
matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak mekanik motor tape dan
menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik. Perhitungan
matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju
kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu
kecil itu berputar-putar sendiri di dalam baskom.
Setelah
itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti
seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu
dengan manis ia membawakan lagu Leaving on a Jet Plane dengan gitarnya
dengan ketukan-ketukan bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat
musik ternyata bisa menjadi demikian indah. Mahar juga membaca beberapa
bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang mendadak kaya atau
tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar dengan
aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert
Humperdink suara emas dan diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik.
Persahabatannya dengan para seniman lokal dan seorang penyiar radio AM
yang memiliki beragam koleksi musik memperkaya wawasan seni dan
perbendaharaan lagu Mahar.
Pada
kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus
listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan
prinsip-prinsip kerja dinamo. Mahar memperagakan cara membuat
sketsa-sketsa kartun dan cara menyusun alur cerita bergambar. Lintang
menjelaskan aplikasi geometri dan aero-dinamika dalam mendesain
layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa
yang punah. Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang
dibentuk cekung seperti parabola dan menghadapkannya ke arah matahari
agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari
katanya. Sebaliknya Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar
dan mendemonstrasikan seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik
melukis gerabah itu dan mewarnainya. Lintang memperagakan cara kerja
sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan matematika geometris dengan
alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa
dan dibawakan secara memukau dengan gaya tilawatil Qur©an, belum pernah
aku melihat orang membaca puisi seperti itu.
Kadang
kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar
elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan
jika naik sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang
belum pernah ada dalam industri instrumen musik, yaitu desain stang
gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam engsel sehingga terciptalah
gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku melihat
keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika
sedang manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan
alat-alat musik, pemain gitar yang kesetrum, seorang pria midland yang
makan kelelawar, atau orang-orang kampung yang meniru-niru Mick
Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti papan catur, baru
kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami
berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai
keindahan, dan menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam
kepintaran meng-asyikkan yang dianugerahkan Ilahi kepada mereka.
Mahar
sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat
besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi,
aneh, lucu, janggal, ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin
karena otak sebelah kanannya benar-benar aktif maka ia menjadi
pengkhayal luar biasa. Di sisi lain ia adalah magnet, simply
irresistable!
Ia
penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala
sesuatu yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan
mitologi setempat, ia hafal luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga
raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja berekor yang diyakininya
pernah menjajah Belitong.
Ia
sangat percaya bahwa alien itu benar-benar ada dan suatu ketika nanti
akan turun ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN
Timah, penjaga sekolah, muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak
bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat konyol misalnya ia menganggap
dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang akan memimpin
perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun-daun
beluntas.
Aku
ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai rapor akhir kelas enam, Bu
Mus yang berpendirian progresif dan terbuka terhadag ide-ide baru,
membebaskan kami ber-ekspresi. Kami diminta menyetor sebuah master
piece, karya yang berhak mendapat tempat terhormat, dipajang di ruang
kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa ce-lengan bebek dari tanah
liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa replika
rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan
rotan untuk mengikat sapu lidi. Trapani menyetorkan peta Pulau Belitong
yang dibuat dari serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama
tapi bahannya bubur koran, jelek sekali dan busuk baunya.
Harun
menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak
lebih tak kurang. Aku sendiri hanya mampu membuat tirai dari biji-biji
buah berang yang di-kombinasikan dengan tali rapiah yang digulung
kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang berarti satu ketupat kecil
tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat tidak
berseni.
Tapi
masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat.
Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan
terpaksa, demi keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela.
Padahal A Kiong tak tidur barang sepicing pun membuatnya. Karena karya
kami sangat tidak memuaskan, kami semua mendapat nilai tak lebih dari
angka 6,5. Sungguh tak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.
Amat
berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang
ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan.
Tapi setelah kain itu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di
baliknya muncul semacam cetakan tenggelam di atas batu apung. Cetakan
kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat janggal dan mengesankan
sangat buas.
Makhluk
ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera anthropoid, dinosaurus
atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah
seperti yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan
fosil kelelawar raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan
bentuk yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi
makhluk itu tentu tak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia
hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman.
Fosil
di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga
mengesankan seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan
semacam lapisan karbon untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail
fosil itu. Lalu karyanya dibingkai dengan potongan-potongan balak lapuk
yang sudut-sudutnya diikat tali pohon jawi agar kesan purbanya
benar-benar terasa.
"Inilah
seni, Bung!" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti
pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung
merpati.
Dan ia mendapat angka
sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai kesenian tertinggi
yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya. Bahkan
Lintang sekalipun tak berkutik.
Imajinasi
Mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti
Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang
dengan kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide.
Kreativitasnya tak terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan
menerobos. Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa
sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur. Maka dalam
sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu
yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera.
Sang kera dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi,
menari-nari, dan berakrobat. Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma
seni sirkus, yang menurutku merupakan sebuah terobosan yang sangat
genius.
Pada kesempatan lain
Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah dan mengolaborasikan
permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran mengisi
acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton
mereka daripada menyalami kedua mempelai.
Mahar
pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD
Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam
episode Siti Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah
seorang budak untuk membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian
suaminya. Setelah Hamzah mati wanita itu membelah dadanya dan memakan
hati panglima besar itu. A Kiong
memerankan
Hamzah, dan Sahara sangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga
karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band.
Alat-alat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing
bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla,
serta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil Masjid Al-Hikmah.
Pemain
rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan seruling
yang dimainkan secara sekaligus oleh Trapani melalui bantuan sebuah
kawat agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan
kendang itu. Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan
tangan kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari tangan kirinya
menutup-nutup enam lubang seruling. Sebuah pemandangan spektakuler
seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk lutut,
terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika
melihat Trapani yang tampan berimprovisasi. Trapani adalah salah satu
daya tarik terbesar band kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok
tampil jika ibunya tidak ikut menonton.
Insiden
sempat terjadi pada awal pembentukan band ini karena Harun bersikeras
menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep
tempo.
. "Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya," kata Mahar sabar. "Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena."
Setelah
dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus
tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian,
meskipun kami sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu,
misalnya lagu Semenanjung Tak Seindah Wajah yang syairnya bercerita
tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap karena ditipu kekasihnya,
Harun kembali menghantam drum itu sekuat tenaganya seperti memainkan
lagu rock Deep Purple yang berjudul Burn. Dan ia sendiri tak pernah tahu
kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu
sejadi-jadinya.
Mahar
tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan,
namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Light
My Fire milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun
menghajar hithat, tenor drum, simbal, serta menginjak-injak pedal bass
drum sejadi-jadinya. Dengan stik drum ia menghajar apa saja dalam
jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill untuk menutup
lagu rock dangdut Wakuncar.
"Dengar
kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu
bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya!"
Diperlukan
waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk
membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima
promosi jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami
tampil.
Mahar
adalah penata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiap
aransemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia
berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian
syahdu ia mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita
tentang daun-daun pohon bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai
Lenggang yang tenang lalu hanyut sampai jauh ke muara, tentang angin
selatan yang meniup punggung Gunung Selumar, berbelok dalam kesenyapan
Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke perkampungan. Ah, indahnya,
pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana seharusnya sebuah
sitar berbunyi.
Mahar
adalah arranger berbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai
memilih lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam
instrumen-instrumen kami yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a
Lonely Heart karya group rock Yess. Mahar mengawali komposisinya dengan
intro permainan solo tabla yang menghentak bertalu-talu dalam tempo
tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana tabuhan Afrika
dan padang pasir pada fondasi tabuhan gaya suku Sawang. Sangat eksotis.
Gebrakan
solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi: berbahaya,
beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan
letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan
menurunkan sedikit tempo bahana tabla-nya dan pada momen itu, kami—para
pemain rebana dan dua pemain tabla lainnya-pelan-pelan masuk secara
elegan mendampingi suara tabla Syahdan yang surut, namun tak lama
kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang semakin cepat, semakin
garang, semakin ganas memuncak. Kami menghantam tabuh-tabuhan ini sekuat
tenaga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan, para
penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncak ekstase, lalu
tepat pada puncak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak
kami hentikan, tiga detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika
penonton mulai melepaskan
kembali
napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah
dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan
dawai sitar sendirian dalam nada-nada minor nan syahdu bergelombang
seperti buluh perindu. Pilihan nada ini demikian indah hingga terdengar
laksana aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Dada terasa lapang
seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di sebuah sore yang
jingga.
Pada bagian ini biasanya
penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar meningkahi sitar
dengan intonasi naik turun dalam jangkauan hampir empat oktaf. Dengan
gaya India klasik, Mahar berimprovisasi. Ia memainkan sitar dengan
sepenuh jiwa seolah esok ia telah punya janji pasti dengan malaikat
maut. Matanya terpejam mengikuti alur skala minor yang menyentuh
langsung bagian terindah dari alam bawah sadar manusia yang mampu
menikmati sari pati manisnya musik. Jemarinya yang kurus panjang
mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memukau. Ia menyerahkan
segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi musik.
Suara
sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi,
meraung-raung seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih
seperti arwah yang tak diterima bumi. Rendah, tinggi, pelan, kencang,
berbisik laksana awan, marah laksana topan, memekakkan laksana ledakan
gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di tengah rimba raya.
Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali memuncak, semakin
lama semakin tinggi dan pada titik nadirnya Trapani serta-merta
menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu
not, menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat
dicapai seruling bambu tradisonal itu.
Mereka
berdua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan
suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang
menanggungkan dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak,
menghardik, dan membentak galak ... namun dengan harmoni yang
terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan, sama sekali tak terduga,
secara mendadak mereka break! Tiga detik diam. Setelah itu serta-merta
datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh
suara alat musik: drum, standing bass, seluruh tabla, sitar, seruling,
seluruh rebana, dan electone sekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana
seluruh alat musik secara mendadak kami break lagi, satu detik diam,
napas penonton tertahan, lalu pada detik kedua Mahar meloncat seperti
tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit menyanyikan lagu
Owner of a Lonely Heart dalam nada tinggi yang terkendali. Para penonton
histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti
hentakan-hentakan staccato yang dinamis sepanjang lagu itu.
Inilah
musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar
menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambil
gaya piano grand pada electone dengan tambahan sedikit efek sustain.
Keseluruhan komposisi dan konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi
yang unik terhadap lagu Owner of a Lonely Heart. Kami yakin sedikit
banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu itu, termasuk esensi
pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti
dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.
Maka
tak ayal lagu rock modern tersebut adalah master piece penampilan kami
selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudi karya Ibu Hajah Dahlia
Kasim.
Mahar juga adalah seorang
seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin memanfaatkan grup kami yang
mulai kondang untuk menarik massa melalui iming-iming uang dan berbagai
mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-mentah.
"Orang-orang
itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang tak©kan
ditepatinya," demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk
meling-kar di bawah filicium. Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti
seorang koordinator demonstrasi.
"Kita
tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita
adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan
kita demi sebuah jam tangan plastik murahan!"
Mahar
demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan
mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi
sebuah nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu:
Republik Dangdut.
Mahar
adalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang
lain, walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu
contohnya adalah ketika ketua RT punya masalah dengan televisinya. TV
hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah beliau dan tidak bisa
dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya
sangat
pendek dan ia kesulitan mendapatkan kabel untuk memperpanjangnya. Kabel
itu tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan mendesak
sebab malam itu ada pertandingan final badminton All England antara
Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu banyak penonton akan hadir, tapi
ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT tak enak hati karena
banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak ©kan semua mendapat
kesempatan menonton pertandingan seru itu.
Ketika
beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah
kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide
ajaib ini:
"Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru," kata Mahar berbinar-binar dengan ekspresi lugunya.
Pak
Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan "eureka!" Maka
digotonglah dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari
pertama diletakkan di ruang tamu dengan posisi frontal terhadap layar
TV dan ruangan itu paling tidak menampung 17 orang. Sedangkan lemari
kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca kedua diposisikan sedemikian
rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari kaca pertama. Ada
sekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.
Tak
ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat.
Penonton merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti
sesungguhnya. Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal
di kaca yang pertama dan kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca
kedua. Menurutku inilah ide paling revolusioner, paling lucu, dan paling
hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran. Aku rasa yang dapat
menandingi ide kreatif ini hanya penemuan remote control beberapa waktu
kemudian.
Kepada
majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali
menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu
adalah muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan.
Sayangnya,
seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali
mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai. Gaya hidup dan
pemikiran mereka yang mengawang-awang sering kali disalahartikan.
Misalnya Mahar, kami sering menganggapnya manusia aneh, pembual, dan
tukang khayal yang tidak dapat membedakan antara realitas dan lamunan.
Keadaan
ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi
karya-karya seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat
cemoohan. Kenya-taannya adalah kami tidak mampu menjangkau daya
imajinasi dan pesan-pesan abstrak yang ia sampaikan melalui karya-karya
tersebut. Kami selalu membesar-besarkan ke-kurangannya ketika sebuah
pertunjukan gagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya.
Mungkin karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya.
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.