Novel Laskar Pelangi Bag 12 (Mahar)
BAKAT
laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayat-mayat alien
disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa
bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnay utopia tak ada dalam dunia
nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti
jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan.
Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki sorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 13 (Jam Tangan Plastik Murahan)
Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki sorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta.
Namun,
mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu
sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya
waktu main bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk
memandangi struk yang menjulur-julur dari printer Epson yang bunyinya
merisaukan seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api,
kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan si
tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan
musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya
mampu melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan
hatinya bergetar hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah
mendapat kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah
ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat besar
gilang ge3milang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti mutiara yang
tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.
Karena
bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi
sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus
berkeliling dari satu negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari
pemain baseball potensial. Jika—satu di antara sejuta kemungkinan—orang
ini tak pernah menghampiri seseorang yang sesungguhnya berbakat, maka
hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang tersebut pernah
ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang
juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling
tidak dibuktikan oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi
tentara dan jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di barak
pada suatu sore maka mungkin ia tak pernah tahu kalau ia sangat berbakat
bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya
membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkin ia tak pernah
tahu kalau dia berbakat menjadi seorang gitaris classic rock.
Dan
di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di
salah satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi
bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong
maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti
diduga—hal ini sudah delapan belas kali terjadi—ia akan membawakan lagu
yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud.
“…berkiballah bendelaku….” “…lambang suci gagah pelwila ….”
“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak …!”
A
Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia
memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang
merambati dahan-dahan rendah filicium serta buah-buahnya yang
gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun memandang ke
arah kami. Ia mengkhianati penonton.
Telinganya
tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan suara
ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak
beradu kencang dengan suara kumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak
mengindahkan jangkauan suaranya serta atk ambil pusing dengan notasi.
Kali ini ia mengkhianati harmoni.
Kami
juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus
phytagoras, Harun tertidur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar
seorang pria yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan
kiri. Sahara asyik menyulam kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu
Walau Kana Murron artinya: Katakan kebenaran walaupun pahit dan Trapani
melipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu Syahdan, aku dan Kucai
sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak Fahimi (guru
kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Mahar adalah orang
satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan
kedua tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar
lolongan A Kiong.
Lalu
giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah
dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku
membuat sedikit kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya
C. Simanjuntak yang diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi
Sahar mengangkat sebentar wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan
memandangku dengan jijik karena aku menyanyikan lagu cepat-tegap itu
dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, ke sana kemari tanpa
harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat.
“…Sorak-sorai bergembira…bergembira semua….” “…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….”
Namun,
aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat
kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah
mengkhianati keindahan.
Kali
ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau
terpingkal-pingkal sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki
harmonisasi lagu itu tapi semakin keras aku berusaha semakin aneh
kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan tidak punya bakat. Aku susah
payah menyelesaikan lagu itu dan teman-temanku sama sekali tak
mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk,
lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin
tertekan karena mendengar suaraku.
Bu
Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi
sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson.
Kenyataannya semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh
Kukuh Berlapis Baja juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh
raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil
menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.
“…Teguh kukuh berlapis baja!” “…rantai smangat mengikat padu!” “…tegak benteng Indonesia!”
Tapi
ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia
menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami
kenal. Ia mengkhianati C. Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama
selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson
membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia
terheran-heran.
“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?”
Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri.
Maka
seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas
kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang.
Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang,
atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus karena dengan menyuruh kami
bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada umumnya kami memang tak
bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu,
yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adlaah
lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya
dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat
selesai.
Adapun Trapani, sejak
kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu
Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya
seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta
ampun. Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua
buah lagu yang sama, kalau tidak lagu Rukun Islam ia akan menyanyikan
lagu Rukun Iman.
“Masih
ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata
Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.
“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”
Kami
sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali.
Burung-burung prenjak sayap garis semakin banyak dan tak mau kalah
dengan kumbang-kumbang betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka
hinggap di jendela kelas sambil menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan
suara bising yang memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan.
“Nah,
sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk
menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti
pada Mahar.
“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita menunggu azan zuhur.”
Bu
Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan
ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar
bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur
berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat kesempatan tampil.
Kami
tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung
kecampang, karena ia juga sudah bersiap-siap akan pulang. Kami sibuk
sendiri-sendiri. Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari
kruistiknya, Lintang terus menghitung, Samson masih menggambar, dan yang
lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan dengan tenang, anggun,
tak tergesa-gesa.
Di
depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap
kami satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil,
namun tatapannya penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari
seorang penyanyi pop gaek yang melakukan konser khusus untuk para
ibu-ibu single parent, dan kaum ibu ini adalah para penggemar setia yang
sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia.
Setelah
memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus
sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang
radio yang memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua
tangannya di dadanya seperti seniman India, seperti orang memohon doa.
Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan
ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga
seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan
sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang
Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas
kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena
disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu
mengepulkan asap hitam dan harus dihidupkan dengan tenaga orang dewasa
dengan cara menarik sebuah tuas berulang-ulang. Bunyi mesin itu juga
merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup tanpa
pilihan. la membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang
parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan.
Bu
Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil.
“Anak muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,"
mungkin demikian yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau
menahan tawa. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog.
“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang teraniaya lebih tepatnya ...."
Tuhanku!
Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah
kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami
hanya tiga ma-cam yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu
anak-anak. Lagu apakah gerangan yang akan dibawakan anak muda berwajah
manis ini? Kini kami semua memandanginya de-ngan heran, Sahara
melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia menyambung kalem
dengan gaya seperti seorang bijak berpetuah.
"Lagu
ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang
sangat ia cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ...."
Mahar
tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh
melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam ....
Bu
Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyum penuh
tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengambil sebuah
keputusan yang puitis.
"Jalan ke ladang berliku-liku, jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan lagumu, biar kutahu engkau merana ...."
Mahar tersenyum dalam duka. "Terima kasih Ibunda Guru."
Mahar
bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin
takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik:
ukulele!
Suasana jadi hening dan
kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan memainkan
melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipeluknya dengan sendu,
matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu
biru, pias menahankan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat
itu. Lalu dengan interlude yang halus meluncurlah syair-syair lagu
menakjubkan dalam tempo pelan penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan
keindahan andante maestoso yang tak terlukiskan kata-kata
"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz..." "...when an old friend I happened to see..."
"...intoduced her to my love one and while they were dancing...
"...my friend stole my sweetheart from me..."
Seketika
kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Waltz yang sangat
terkenal karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan teknik
menyanyi seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme
ukulele mengiringi vibrasi sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan
yang luar biasa sehingga ia tampak demikian menderita karena kehilangan
seorang kekasih.
Syair
demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami,
hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kupu-kupu cantik thistle
crescent, lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara.
Suara Mahar terdengar pilu merasuki relung hati setiap orang yang ada di
ruangan. Intonasinya lembut membelai-belai kalbu dan Mahar memaku hati
kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi sambil menitikkan air
mata. Apa pun yang sedang kami kerjakan terhenti karena kami telah
terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari sosok anak
muda tampan yang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya,
sehingga lagu itu menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa
suasana melankolis karena Mahar benar-benar mengembuskan napas lagu itu.
Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa. Bahkan
kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap garis menjadi senyap,
berhenti menjerit-jerit demi mendengar lantunannya. Suhu udara yang
panas perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan.
Ketika
Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu
tergerak di dalam hati bukan karena Mahar bernyanyi dengan tempo yang
tepat, teknik vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar,
atau chord ukulele yang sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan
Tennesse Waltz kami ikut merasakan kepedihan yang mendalam seperti kami
sendiri telah kehilangan kekasih yang paling dicintai. Kemampuan
menggerakkan inilah barangkali yang dimaksud dengan bakat. Siang itu,
ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang seniman besar telah
lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri
lagunya secara fade out disertai linangan air mata.
“...I lost my litle darling the night they were playing the beautiful Tennesse waltz..."
Dan
kami serentak berdiri memberi standing applause yang sangat panjang
untuknya, lima menit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang
menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya.
Tak
dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara
acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib
yang sedang bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar
Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang bereskalasi.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 13 (Jam Tangan Plastik Murahan)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.