Novel Laskar Pelangi Bag 14 (Orang - Orang Sawang)
PAPILIO blumei, kupu-kupu tropis yang menawan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu mengunjungi pucuk filicium. Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu-kupu kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow. Mereka dan lidah atap sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita. Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube clouded yellow.
Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellow dengan danube clouded yellow, berturut-turut nama latin mereka adalah Colias crocea dan Colias myrmidone. Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang memesona laksana Danau Danube yang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius. Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhluk-makhluk bisu berumur pendek ini bahkan tak tahu kalau dirinya cantik. Meskipun jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis puisi.
Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli melingkari lingkaran daun-daun filicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap-sayap yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan diatas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.
Kupu-kupu clouded yellow dan Papilio blumei saling bercengkrama dengan harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun, seolah digerakkan oleh semacam mesin, keserasian. Mereka adalah orkestra warna dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan-gulungan daun pisang, bahwa sore ini mereka akan menari-nari di pucuk-pucuk filicium, bersenda gurau, untuk memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan.
Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini, pemandangan seperti butiranbutiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi kecenderungan Homo sapiens untuk merusak tatanan alam.
Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkan Sahara, satu-satunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena pakaian Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang menjaga aurat rapat-rapat.
Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang pelangi.
Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.
Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Pelangi yang menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya warna-warni terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.
Kini filicium menjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja dikisahkan oleh Mahar. Ketika kami mendesaknya ia sempat ragu-ragu. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa menjaga informasi yang sangat penting ini!
Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang untuk membual.
"Tahukah kalian ...," katanya sambil memandang jauh.
"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!" Kami terdiam, suasana jadi bisu, terlena khayalan Mahar. -
"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang-orang Belitong tempo dulu dan nenek moyang orang-orang Sawang."
Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan. Lalu dengan nada terpaksa ia melanjutkan, "Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong primitif dan leluhur Sawang itu, karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!"
Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sepenuh jiwa-apa pun yang dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat spriritual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sekte ketololan kolektif.
Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat kelakuan Syahdan. Baginya Mahar sudah tak waras.
Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura-pura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid. Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan berkumandang.
"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...," pesan orangtua kami.
KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid. Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon-dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi kami tak membesarbesarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu-atas dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warna kulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian.
Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lorong waktu, tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu ketika sedang memperbaiki sound system di masjid, demi melihat kabel centang perenang
yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap.
Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok mengembara di sepanjang pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar-akar pohon. Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas. Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang. Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan primitif.
"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan wanita-wanita Sawang ...," cerita muazin itu.
Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, senantiasa lupa akan air, begitulah kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antropologi. Dibanding orang Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti sikat.
PN Timah mempekerjakan suku maskulin ini sebagai buruh yuka, yaitu penjahit karung timah, pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Sulit dikatakan uang itu akan bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh darah arang Sawang. Mereka membelanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang seperti akan hidup selamanya.
Karena kekacauan persoalan manajemen keuangan ini, orang Sawang tak jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku minus tak ayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi sikap diskriminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaannya karena malas bekerja kasar. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.
Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri sendiri. Itulah sifat alamiah mereka. Bagi mereka hidup ini hanya terdiri atas mandor yang mau membayar mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sanggup dikerjakan suku lain. Mereka tak memahami konsep aristokrasi karena kultur mereka tak mengenal power distance. Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku, seorang shaman sekaligus dukun, dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas.
PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang bersekat-sekat. Di situ hidup 30 kepala keluarga.Tak ada catatan pasti dari mana mereka berasal. Mungkinkah mereka belum terpetakan oleh para antropolog? Tahukah para pembuat kebijakan bahwa tingkat kelahiran mereka amat rendah sedangkan mortalitasnya begitu tinggi sehingga di rumah panjang hanya tertinggal beberapa keluarga yang berdarah murni Sawang? Akankah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman?
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 15 (Euforia Musim Hujan)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.