Ndak Usah Marah, Belajarlah
SYEKH ALI JABER
“Kok foto sama perempuan ini?” tanya istri Syekh Ali Jaber suatu malam ketika membuka Hp sang suami tercinta. Syekh Ali Jaber tidak marah, tidak menganggap istrinya tak sopan telah berani membuka-buka Hp nya.
Bahkan setelah mendengarkan istrinya marah-marah, dengan tenang Syekh bertanya, “Sudah sayang?”
“Udah.” jawab istrinya manja.
“Terus apa, maunya apa?” tanya Syekh Ali Jaber pada istrinya.
“Hapus foto.” jawab istrinya tegas.
“Ya, kamu hapus saja sendiri.”kata Syekh Ali Jaber tetap dengan tenang.
“Sudah hapus, sudah tenang? Ada lagi?”
“Gak usah pakai handphone lagi!”
“Siap... matiin aja handphone, buang aja.”
Syekh Ali Jaber dengan yakin mengabulkan permintaan istrinya dan memilih untuk tidak pegang handphone selama dua tahun.
Begitu kurang lebih potongan cerita Syekh Ali Jaber pada acara podcast di channel Deddy Corbuzier beberapa bulan lalu.
Lalu apa yang bisa kita ambil pelajaran dari kisah Syekh Ali jaber ketika dimarahi istrinya karena ada foto jamaah perempuan di handphone-nya?
Syekh Ali jaber mengajarkan pada kita semua bahwa setiap rumah tangga pasti ada masalah baik masalah besar maupun masalah kecil. Besar kecilnya masalah itu bukan terletak pada jenis masalahnya tapi pada cara bagaimana menyelesaikan masalah itu dengan baik.
Seberapapun besarnya masalah jika cara penyelesaiannya tepat maka akan terasa kecil dan cepat mendapatkan solusi. Tapi sebaliknya, masalah yang kecil bisa berubah menjadi besar karena cara penyelesaiannya salah, tidak fokus pada mencari solusi tapi justru semakin menambah masalah.
Bayangkan jika Syekh Ali Jaber tersinggung dengan istrinya yang buka handphone beliau, lalu marah-marah dan melempar handphone itu ke wajah istrinya.
Bayangkan seandainya beliau berprinsip bahwa istri harus menghormati suaminya, tidak boleh protes apalagi dalam kondisi suaminya baru pulang dari bepergian.
Atau bayangkan jika Syekh Ali Jaber merasa istrinya cemburu bukan pada tempatnya dan menganggapnya istri yang posesive sedangkan satu sisi beliau adalah pendakwah yang tidak mungkin lepas dari para ‘penggemar’ perempuan.
Tentu kejadian di atas bisa menjadi masalah yang besar jika sang suami bukan sosok seperti Syekh Ali Jaber. Seorang suami yang fokus mencari solusi ketika menemukan masalah.
Seorang kepala rumah tangga yang sangat menyayangi istrinya dan tidak menganggap istrinya sebagai wanita lemah yang harus selalu diam, menurut dan tidak boleh protes sama sekali.
Seorang imam yang lebih memilih mengalah demi keadaan yang lebih tentram dibanding mementingkan ego-nya sebagai lelaki kuat yang terkenal, yang bisa menghidupi keluarganya dengan baik dan yang sebenarnya mungkin bisa dengan mudah mencari wanita lain untuk dijadikan istri kedua, ketiga atau bahkan keempatnya.
Tapi beliau memilih untuk berdamai dengan keadaan dan memahami apa yang dirasakan oleh istrinya itu tak lain karena besarnya cinta sang istri pada beliau.
Padahal di sisi lain, kesaksian dari Muhammad Agung Izzul Haq yang beberapa kali membersamai Syekh Ali jaber berdakwah pada program Damai Indonesiaku, mengisahkan bahwa setiap kali para jamaah khususnya jamaah perempuan teriak-teriak memanggil nama Syekh Ali Jaber, beliau dengan tenang tetap meresponnya dengan ramah tapi tidak pernah lupa memberi isyarat dengan tangan agar jamaah perempuan tetap menjaga jarak.
“Agar tidak menimbulkan fitnah.” katanya menirukan kalimat dari sang ustadz.
Belum lagi kisah lainnya ketika Syekh Ali Jaber dikatain anjing oleh seseorang yang tidak sengaja terdorong dalam kondisi berdesakan lalu dengan santainya beliau berlagak seolah mencari-cari anjing di sekitarnya sambil bertanya, “Mana anjingnya?”
Orang yang ngatain beliau anjing pun tertawa melihatnya, lalu sampai akhirnya mereka menjadi sahabat yang sangat akrab.
Kisah lain yang tak kalah kerennya adalah saat ada seseorang yang tiba-tiba memaki-maki Syekh Ali Jaber sehingga membuat orang di sekitarnya emosi dan ingin mengambil tindakan tapi dilarang oleh Syekh Ali Jaber sambil berkata, “Dia belum selesai bicara.”
Lalu setelah orangnya selesai memaki, bukannya membalasnya tapi beliau bertanya, “Sudah selesai?”
“Sudah!” jawab orang yang puas memaki Syekh Ali Jaber.
”Terima kasih, Assalamualaikum...” kata Syekh Ali Jaber lalu pergi meninggalkannya.
Tak hanya itu, kita juga masih ingat betul kejadian ketika Syekh Ali Jaber ditusuk orang yang tak dikenal saat berdakwah. Lalu beliau justru menahan amarah massa yang ingin menghakimi pelaku.
Beliau dengan mudah memaafkan dan bahkan mendoakan pelaku. Di beberapa kesempatan beliau selalu mengatakan prinsip hidupnya sangat sederhana, “Jika ada orang salah sama saya, maka saya memohon agar Allah mengampuninya, jika saya punya salah sama orang lain maka saya mohon pada Allah agar memaafkan saya.”
Sungguh tak ada habisnya jika ingin mengenang kemuliaan akhlak beliau. Semoga Allah siapkan syurga Firdaus untuk beliau dan keluarga yang ditinggalkan Allah beri kesabaran dan kesehatan, aamiin.
Tak perlu kita menangis berlebihan atas kepergian beliau, Syekh Ali Jaber, karena insya Allah tempat yang indah sudah menanti beliau. Tapi kita patut menangis lebih lama lagi karena wafatnya Syekh Ali jaber mengingatkan kita pada sebuah hadits :
“Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari) #AlFatihah...aamiin 🤲🏻😇😢