Novel Laskar Pelangi Bagian 19 (Sebuah Kejahatan Terencana)
DAN
tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang
pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning
bertutul-tutul sehingga dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip
hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti kucing dan rambut mereka dicat
kuning menyala-nyala dengan bahan wantek.
Tiga puluh pemain tabla
seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok
sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh
Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka
menggunakan penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak
panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak
sangat garang dan megah.
Tampaknya
Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian kami
paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai
ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi
Afrika. Wajah dilukis berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi
rumbai-rumbai seperti kuda terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga
ketika melangkah terdengar suara gemerincing semarak. Di pinggang
dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga memakai
beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang
dijepit dan gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.
Yang
paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi,
tapi lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat
besar, dibuat dari lilitan kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu
berbagai jenis benda diselipkan, dijepit, atau dijahit pada stagen itu.
Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu sepanjang hampir
satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun,
dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini.
Lalu punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda,
bahannya—seperti tertulis pada sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah
sapi yang anggun dan megah.
Inilah
rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti
sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari
samping seperti ayam kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau.
Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu.
Aksesori
yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan
sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari
benda-benda bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang
istimewa dengan kalung ini dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami
sibuk membahas mahkota kami. Kami
yakin
mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan
wanita-wanita muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.
Tak
disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya
sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa
pada untaian anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya
magis penampilan kami, yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam.
Sesungguhnya kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar.
Setelah
seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam
karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin
girang. Tentu Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung
itu dibaut dari buah pohon aren yang masih hijau sebesar bola pingpong
yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan kecil. Kami berebutan
memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan ini. Sebelum
parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk
berdoa, mengharukan.
Seperti
telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar
biasa. Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang
untuk melihat penampilan kami di depan podium kehormatan.
Menjelang
podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu drum
terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana
puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet,
trompet, saksopon tenor dan bariton yang dimainkan puluhan siswa.
Marching band sekolah PN sedang beraksi!
Pakaian
pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang dimainkan.
Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan
pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan
benar-benar mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan
warna kuningan. Pemain simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan
celana panjang biru yang dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang
mahal setinggi lutut. Mereka seperti sekawanan ksatria yang baru turun
dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN tampil semakin baik
setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang terbaik.
Sebagai
entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller’s In the Mood
dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama
swing yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan
koreografinya dengan gaya kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las
Vegas segera berpindah ke sudut pasar ikan Belitong yang kumuh. Setiap
siswa yang terlibat dalam marching band ini belum-belum sudah mengumbar
senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil Seni Terbaik
tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi
agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai
puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for Trumpet
dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini
penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa
dikompetisikan di luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik
klasik karya Johann Hummel tapi oleh Marching Band PN dibawakan kembali
dalam aransemen big band dengan kekuatan brass section yang memukau.
Bagian
intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan
pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan
sepuluh pasang simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka
pelankan ketika puluhan snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang
mendengarnya akan tergetar. Belum tuntas sensasi penonton dengan buaian
snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para colour guard memasuki
medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian kontemporer yang
memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan brasss,
kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.
Ribuan
penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai ketika
tiga orang mayoret—ratu segala pesona—dengan sangat terampil
melempar-lemparkan tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para
mayoret cantik, bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga
keanggunannya, meliuk-liuk laksana burung merak sedang memamerkan
ekornya.
Wanita-wanita
muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini mengenakan rok
mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik tinggi
sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan
mereka bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak
sepatunya yang tinggi.
Topinya
adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih
seperti topi Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah
pergawati. Langkahnya cepat panjang-panjang dan sering kali memekik
memberi perintah. Pandangannya menyapu seluruh penonton seperti tipuna
sihir yang membius.
Wajahnya
mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor dan
tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka
berjalan-jalan dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari
makan di bawah temaram cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak
pernah berserdawa. Garis matanya memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan
dan masa depan yang gilang gemilang. Mereka seperti orang-orang yang
tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang berasal dari
tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami
ternganga. Mereka seperti orang-orangy ang hanya memakan bunga-bunga
putih melati dan emngisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera
berkilat, berkibar-kibar tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan.
Sementara
di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan
spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon
beringin. Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat
gemerlap dunia. Tapi kami segera membentuk barisan, tak surut semangat,
tak sabar menunggu giliran.
Segera
setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan
perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia
on My Mind, diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika
itu juga, tanpa membuang tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara
sangat mendadak Mahar bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak
beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan mereka mengagetkan.
Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat
dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural,
asli, yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui
lantakan tabla sekuat tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet
sedang berebutan dengan tupai menjarah buah kuini, Mahar menyeret
fantasi penonton ke alam liar Afrika.
Penonton
terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga-duga.
Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton
terbius oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta
tarian yang belum pernah
mereka
lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan
Marching Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium.
Mereka membubarkan diri tanpa komando lalu bergabung dengan para
penonton yang terpaku. Mereka keheranan melihat tarian liar yang tak
seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling kuno dengan gerakan
tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama asli
Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan
adalah gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari
tubuh-tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra,
garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. Koreografi Mahar
berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara yang mengandung
fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling memangsa.
Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora
gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan
mantra-mantra nan magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang
emnyihir. Mahar memvisualisasikan alam ganas di mana hukum rimba
berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak degup jantung karena
tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga menggetarkan
jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.
Penonton
semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik Afrika
yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar
dalam coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun
tanpa disadari tubuh mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti
potongan-potongan irama yang dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan,
siulan, dan sorak-sorai ribuan penonton membahana menyambut kejutan
aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum. Pada detik itu
aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan
entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entry telah
sukses biasanya seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah
terbeli tunai!
Kesuksesan
entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level
tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua,
gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak
sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin mendemonstrasikan kehebatan
mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja kelebihan energi dan lapar
akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena
utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam
yang
siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila
tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang
rapat, ikut menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan
berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan
hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi
semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara
apa-apa. Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi
di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di
lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa
heran melihat warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi merah,
demikian pula kalung kami, membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit.
Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa
panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam
waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di
seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari
getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana
Mahar. Buah aren yang ditusuk dengan tali rotan itu mengeluarkan getah
yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher. Rasa gatal itu semakin
menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk melepaskan
kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota
besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan
mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan
dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa bantuan seseorang
tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin melakukan itu apalagi Mahar
sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke arah kami.
Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.
Maka
semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang
terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami
menyerbu arena dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton
bergemuruh. Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario.
Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerak-gerak aneh dan sedikit
melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal
yang luar biasa.
Rasa gatal ini
begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan jelas
berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama
rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya
sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat.
Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari
maka getah aren itu menyebar ke seluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh
kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami
berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi,
kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain tu menggaruk hanya
akan memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan.
Satu-satunya cara mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus
bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak
sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami
berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling
mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua
itu tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan
matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama sekali menguap
ketampanannya, wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo yang sedang
kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya sendiri dengan keras
seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan
wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti
terbakar api dan urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.
Kami
bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng
cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya,
melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun terbakar
semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk mengikuti gerakan-gerakan
liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat dari latihan dan
gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran
dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan
orang Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.
Sesungguhnya
maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan gatal. Penonton
yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir dan
telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka
bertepuk tangan gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian
Afrika. Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan salut
kepada kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton
semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur ke depan
meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka
berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah
pemandangan
aneh.
Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami
semakin tunggang-langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak
peduli dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami
sekarang menjadi:
“Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!!!”
Penonton
malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh sekali,
wajahnya tapak senang tak alang kepalang, gembira bukan main. Ia tampak
sangat setuju dengan seluruh gerakan gila kami walaupun tidak seperti
yang dilatihkannya dulu.
“Terus
Kawan, hebat sekali, ayo berguling-guling, inilah maksudnya,” bisiknya
di antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi
aku tak sempat berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh
dua puluh ekor cheetah. Suasana semakin seru. Kami semakin sinting
karena gatal dan panas. Kami merasa sangat haus, menderita dehidrasi.
Ketika cheetah meneyrang, kami berbalik menyerang. Kami sudah lupa diri.
Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.
Skenarionya
adlaah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit Masai,
Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan
kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan
cheetah karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan
memecahkan pembuluh darah kami.
Para
cheetah kebingungan. Ketika mereka menerjang kami membalas, cheetah
berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi
berulang-ulang. Namun anehnya skenario yang kacau balau tak direncanakan
ini justru memunculkan karakter asli binatang yang pada suatu ketika
bisa demikian ganas tanpa ampun dan pada keadaan yang lain
terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebaliknya
sekali lagi kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan
ini, tabuhan tablanya semakin ganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah
aku melihatnya sebahagia itu.
Surai
kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai
eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti
orang dirasuki iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang
raja hantu. Arena semakin membara dan gairah tarian mendidih ketika dua
puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk menyelamatkan kami, yang
terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit Masai
melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain
tabla
yang
sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh
rendah dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film.
Pasir-pasir
halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal yang
mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti
pusaran angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam
sebuah ritual liar alam Afrika yang kami tarikan seperit binatang buas
yang terluka. Dalam kekacaubalauan terdengar teriakan-teriakan hsiteris,
auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum. Keseluruhan
koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan binatang
dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata
menghasilkan karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah
formasi gerakan chaos orisinal yang tercipta secara tidak sengaja. Para
penonton tersihir melihat kami trance secara kolektif, mereka tersentak
dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang menkjubkan. Sebuah
pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek seni
yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek
seni yang akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak
diragukan, tak ada bandingannya.
Pak
Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya
melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar
bahwa kami menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada
hubungannya dengan Moran, cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah
gendang telinga.
Tiga puluh menit
kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang dirancang
untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan
prajurit Masai masih harus melanjutkan fragmen. Segera setelah
meninggalkan arena kami berlari pontang panting mencari air. Sayangnya
air terdekat adalah sebuah kolam kangkung butek di belakang sebuah toko
kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir ikan-ikan bsuuk yang
tak laku dijual. Apa boleh baut, kami ramai-ramai menceburkan diri di
sana.
Kami
tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh
menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga. Aku
kagum kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan
kepercayaan diri ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang
mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh
sekolah
Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak
mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu
kami tak dapat bergembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami
jgua tak mendengar ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar.
Beliau mengucapkan pidato panjang puji-pujian utnuk kami:
“Sekolah
Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam karnaval
ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar
baru yang semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka
mendobrak dengan ide kreatif, tampil all out, dan berhasil
menginterpretasikan dengan sempurna daripada sebuah tarian dan musik
dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan
spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi
daripada penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu
sendiri. Penampilan Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak
pencapaian seni yang gilang gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak
punya daripada pilihan lain selian daripada menganugerahkan penghargaan
daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah Muhammadiyah!”
Whai
dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak
sekalian, tahu apa bapak-bapak soal seni, interpretasi seni kami adlaah
interpretasi getah buah aren yang gatalnya membakar lingkaran leher kami
sampai ke pangkal-pangkal paha dengan perasaan seperti memakan api.
Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang tidak waras, dan
tiulah interpretasi seni kami.
Mendengar
pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga
Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang
fenomenal.
Sebaliknya kami,
delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu semua
kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika
Mahar diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi
Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami
idamakan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali
ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak ‘kan
membuat sekolah kami dihina lagi.
Kami
tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam
lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daun genjer. Yang
kami tahu
hanyalah
bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami
padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah
rancangan kalung etnik properti adi busana koreografi yang bernilai
seni, hasil perenungan Mahar berjam-jam sambil memandangi langit di
bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan tingkat tinggi yang
membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan memberi
kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia
rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun.
Wajah
manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti
mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa
sehingga merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar
melonjak-lonjak girang disirami sinar agung prestasi dan kata-kata
pujian setinggi langit. Sedangkan kami agaknya memang patut dihukum di
kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami sekaligus merebut penghargaan
terbaik—sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda yang nyeni itu memang
genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali, semanis
buah bintang.