Novel Laskar Pelangi Bag 9 (Penyakit Gila No 5)
FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran. Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri (Elaeocarpus sphaericus schum). Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium. Konfigurasi ini menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrots atau tak lain serindit Melayu.
Sebelum menyerbu filicium, serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze.
Melangak-longok ke sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah
ganitri yang biru mampu menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung
ini berakrobat menyebabkan ahli ornitologi Inggris menambahkan nama
hanging pada nama gaulnya itu. Jika keadaan sudah aman kawanan ini akan
menukik tajam menuju dahan-dahan filicium dan tanpa ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil rakus ini menjarah buah-buah kecil filicium dengan kepala waspada menoleh ke kiri dan kanan. Pelajaran moral nomor tiga: jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.
Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium
tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami.
Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa
kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya
kami bersembunyi jika bolos
pelajaran
kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia
persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di
akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus
tentang petualangan Hang Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang
rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet,
tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar.
Setelah
serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou
menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan
burung ini sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang
memerhatikannya. Mereka santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium,
menikmati setiap gigitan buah kecilnya, buang hajat sesuka hatinya ....
Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun akan membersihkan paruhnya
dengan menggosok-gosokkannya pada kulit filicium yang seperti
handuk kering. Mereka kemudian akan turun ke tanah, buncit, penuh
daging, bulat beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada
dunia. Sebaliknya, kami pun tak tertarik menggodanya. Interaksi kami
dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis.
Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat di kulit filicium.
Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan,
nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari
burung biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan
kut...kut...kut... namun kehadirannya sangat kami tunggu karena ia
selalu mengunjungi pohon filicium sekitar pukul 10 pagi. Pada jam
ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih
membosankan. Suara kut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas
lebih menghibur dibanding materi pelajaran bergaya indoktrinasi itu.
Setelah
ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari
serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir
bersamaan karena peringai coppersmith yang tak pernah mau kalah.
Lalu silih berganti sampai menjelang sore berkunjung burung-burung madu
sepah, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang
berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan.
Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak
henti-hentinya
menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia semakin
semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah,
jamur telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling
berebutan tempat.
Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filicium
sepanjang hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni
sepuluh homo sapiens di sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi
ini misalnya.
“Aku
mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami
dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas
kajang di pasar.
“Tapi
sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu
diri sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas
sekolah.
“Jangan
kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak-anak SD PN nanti?” jawab Kucai
sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu. Mengesankan
dirinya kenal dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan
martabatnya di mata kami.
Maka
sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela
menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang
berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli
kalau baju Borek kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya.
Ada pula kemungkinan Borek kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika
kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.
Seperti
Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan
maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh
kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya
pegawai rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij.
Selain bergaji rendah, beliau juga rentan pada risiko kontaminasi radio
aktif dari monazite dan senotim. Penghasilan ayahku lebih rendah
dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang
kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul
perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan
sekaligus. Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan
gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja.
Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda dengan keramba.
Sebangku
dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang
merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati,
waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam
puritan dan miskin ini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang
menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin.
Tapi
jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di
SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di
mana-mana. Wajahnya seperti baru keluar dari bengkel ketok magic,
alias menyerupai Frankenstein. Mukanya lbar dan berbentuk kotak,
rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang
dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya
tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite
dari air minum. Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan
jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala
aluminiumnya itu.
Dia
sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam engatakan
bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk
menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam
sedang mengeram. Dunia baginya hitam putih dan hidup adalah sekeping
jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor,
hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.
Tapi
tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat
juga menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di
depannya dan berpenampilan layaknya orangpintar serta selalu
mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai.
Kucai
sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin
menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan
matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika ia
memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat adalah benda di samping
benda yang ada persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat
berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi ia
menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah
aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya
minder. Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut
besar, banyak teori, dan sok tahu.
Kucai
memiliki network yang luas. Ia pintar bermain kata-kata. Kalau hanya
perkara perselisihan peneng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana
bisa menjual beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis
pasar malam separuh harga, serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi
total. Kelemahannya adalah nilai-nilai ulangannya tidak pernah
melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar,
bodoh yang diperhalus.
Maka
jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya
yang lemot—Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi.
Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara
tatapan matanya dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta
ampun. Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya.
Beliau adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah
bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid kampung.
Kucai
juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua
kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu
menyebalkan antara lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar
jangan berisik padahal diri sendiri tak bisa diam. Ini menyebabkan tak
ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi kelas kami ini
sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat
kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan
betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan
terpaksa bersedia menjabat lagi.
Suatu
hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan
tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat
berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin
Khatab.
“Barangsiapa
yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya untuk
itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!”
Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau menyambung dengan lantang.
“Kata-kata
itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin dan
Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan
dipertanggungjawabkan nanti di akhirat ....”
Kami
terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai
seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati
nanti, apalagi sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi
ketua kelas itu tidak ada keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi
pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena serta-merta ia
berdiri dan berdalih secara diplomatis.
“Ibunda
Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti
setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada
guru ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak
tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk
memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggungjawabkan
kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal ini yang tak bisa
diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”
Kucai
tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya
tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah
dipendamnya bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi
pandangannya ke arah gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit.
Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius, kami tak ingin melukai hatinya.
Bu
Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan
selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum pada beban yang dipikul
Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami
menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas,
melipatnya, dan menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami
dengan bersungguh-sungguh dan saling berahasiakan pilihan itu dengan
sangat ketat.
Kucai
senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan
keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera
berakhir.
Suasana
menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup
mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru.
Sembilan gulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri kelihatan gugup. Beliau membuka gulungan pertama.
“Borek!” teriak Bu Mus.
Borek
pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa
ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap
pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan.
“Kucai!”
Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga. “Kucai!”
Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat. “Kucai!”
Kertas kelima. “Kucai!”
Kucai
pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai
terpuruk. Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan
tawa. Ia memandang Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani.
Karena
Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus
tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan
pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi
panjgannya dan berteriak pasti.
“Kucai ...!”
Kucai
terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang
demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk
suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil
tersenyum jenaka.
“Memegang
amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir orang yang
akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara
petugas sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami?
Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah
kami ....”
DUDUK
di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota
pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia
memesona seumpama
bondol
peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis
berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita
melalui sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki,
dan sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin. Ia tak bicara
jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang
dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda santun harapan
bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma Pramuka. Cita-citanya
ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan
pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Seluruh kehidupannya
seolah terinspirasi lagu Wajib Belajar karya R.N. Sutarmas.
Ia
sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga
diperhatikan ibunya layaknya anak emas. Mungkin karena ia satu-satunya
laki-laki di antara lima saudara perempuan lainnya. Ayahnya adalah
seorang operator vessel board di kantor telepon PN sekaligus tukang
sirine. Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia
masih diantar jemput ibunya. Ibu adlaah pusat gravitasi hidupnya.
Trapani
agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga.
Aku sering cemburu karena aku kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk
disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah
menanggapi salam-salam itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel pada
Trapani karena setiap kali kami punya “acara”, misalnya menyangkutkan
sepeda Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak bermutu dan selalu
menggertak murid—di dahan pohon gayam, Trapani harus minta izin dulu
pada ibunya.
Lalu
ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked
green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit
lebih beruntung. Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala
Parit, orang-orang lapangan di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian
dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya
karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan
kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar.
Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan dair A Kiong,
Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan.
Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah kejujurannya yang luar biasa
dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang
berbohong.
Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang
berkobar-kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.
Musuh
abadi Sahara adalah A Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu
bertengkar lagi. Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk
selalu berselisih. Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk
hal-hal sepele. Sahara menganggap apa pun yang dilakukan A Kiong selalu
salha, dan demikian pula sebaliknya. Kadang-kadang perseteruan mereka
itu lucu dan membuka wawasan.
Milsanya ketika kami berkumpul dan Trapani bercerita tentang bagusnya buku
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, karya legendaris Buya Hamka.
“Aku
juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak suka, terlalu banyak
nama dan tempat, susah aku mengingatnya.” Demikian komentar A Kiong
mencari penyakit.
Sahara
yang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan menyalak tanpa ampun,
“Masya Allah! Dengar anak muda, mana bisa kauhargai karya sastra
bermutu, nanti jika Buya menulis lagi buku berjudul Si Kancil Anak Nakal
Suka Mencuri Timun barulah buku seperti itu cocok buatmu ….”
Kami semua tertawa sampai berguling-guling.
A
Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya saja ejekan
itu mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia tak bisa mengonter
cemoohan secerdas itu.
Sebaliknya,
Sahara sangat lembut jika berhadapan dengan Harun. Harun adalah seorang
pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang
menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya
selalu rapi. Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya.
Ia lebih kelihatan seperti pejabat kantoran di PN daripada anak
sekolahan. Bagian belakang bajunya, yang disetrika dengan lipatan
berpola kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di punggung
Harun.
Harun
memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa
menangkap pelajaran membaca atau menulis. Jika Bu Mus menjelaskan
pelajaran, ia duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata
pelajaran, pelajaran apa
pun,
ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap
hari, sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?”
“Sebentar
lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang,
puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan.
Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium.
Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan Tupai dan
Kura-Kura. Harun dengan bersemangat menceritakan kucingnya yang
berbelang tiga baru saja melahirkan tiga ekor anak yang semuanya
berbelang tiga pada tanggal tiga kemarin. Sahara selalu sabar
mendengarkan cerita itu walaupun Harun menceritakannya setiap hari,
berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai
kelas tiga SMP. Sahara tetap setia mendengarkan.
Jika
kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor.
Pengecualian dari sistem, demikian orang-orang pintar di Jakarta
menyebut kasus seperti ini. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama
untuk menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Dia hanya tersenyum
menanggapi tingkahku. Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam
tubuh orang dewasa.
Pria
kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan
dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air. Tapi pertemuan tak
sengajanya dengan sebuah kaleng bekas minyak penumbuh bulu yang kiranya
berasal dari sebuah negeri nun jauh di Jazirah Arab sana telah mengubah
total arah hidupnya. Gambar di kaleng itu memperlihatkan seorang pria
bercelana dalam merah, berbadang tinggi besar, berotot kawat tulang
besi, dan berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu
di dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis
rambut.
Sejak
itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain
sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena
latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan Samson. Sebuah gelar
ningrat yang disandangnya dengan penuh rasa bangga. Agak aneh memang,
tapi paling tidak sejak usia muda Borek sudah menjadi dirinya sendiri
dan sudah tau pasti ingin menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten
ia berusaha mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas
yang tak jarang mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan sering
sekali mereka yang tak kunjung menemukan identitas menjalani hidup
sebagai orang lain. Borek lebih baik dari mereka.
Samson
demikian terobsesi dengan body building dan tergila-gila dengan citra
cowok macho, dan pada suatu hari aku termakan hasutannya.
AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah pengetahuan rahasia untuk membesarkan otot dada.
“Jangan
bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh ke kiri dan kanan,
seakan takut ada yang memerhatikan dan mencuri idenya. Lalu ia menarik
tanganku, kami pun berlari menuju belakang sekolah, sembunyi di ruangan
bekas gardu listrik. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis
yang dibelah dua.
“Kalau
i9ngin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah rahasianya!” Kembali ia
berbisik walaupun ia tahu di sana tak mungkin ada siapa-siapa. Agaknya
bola tenis itu mengandung sebuah keajaiban.
“Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya bola tenis inilah rahasia keindahan tubuhnya,” pikirku. Tapi akan diapakan aku ini?
“Buka bajumu!” perintahnya. “Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum Hawa….”
Wajahnya
menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua laki-laki di luar
sana tidak melakukan metode praktisnya ini, jalan pintas menuju
kesempurnaan penampilan seorang lelaki. Sesungguhnya aku ragu tapi tak
punya pilihan lain. Pintu gardu sudah ditutup.
“Cepatlah!”
Aku semakin ragu.
Namun,
belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku
dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke
belakang sampai hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat
tenaga ia membenamkan benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang
punggungku terhalang oleh tumpukan balok. Badannya jauh lebih besar,
tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena ia mengerahkan
segenap kekuatannya, emmbuatku meronta-ronta.
Aku
paham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda
aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk
menguras lubang WC. Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik
otot sehingga menonjol dan bidang. Itu idenya. Sekarang tekanan tenaga
Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi menyiksaku.
Yang
akurasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa,
berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu.
Bahkan mataku rasanya akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup
mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat agar ia melepaskan pembekam
itu.
“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada khasiatnya!”
Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka!
Hitung
nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu
mebngerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang
tua, misalnya Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun
Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup
menanggungkan benda yang menyedot dadaku ini selama menyebut nama
sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama orangtuanya. Nama orang Melayu
tak pernah singkat.
Samson
tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini
adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa.
Aku terperangkap seperti ikan kepuyu di dalam bubu. Aku mulai sesak
napas. Tubuhku rasanya akan meledak. Isapan bola tenis itu laksana
sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa dan tubuhku mulai terasa
menciut. Kakiku mengais-ngais putus asa seperti banteng bernafsu
menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan
menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh
sehingga sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang
tersisa lalu dengan sekali jurus kutendang selangkang Samson, tepat di
belahan pelirnya, sekuat-kuatnya, persis pegulat Jepang Antonio Inoki
menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada pertarungan absurd
tahun ’76.
Samson
melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku
melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia
body building itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu
di atas tumpukan jerami. Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat
Samson masih berputar-putar memegangi selangkangnya, lalu manusia
Herucles itu pun tumbang berdebam di atas tanah.
Di dadaku melingkar tnada bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak kemahatololan.
Ketika
ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran
Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku
membohongi orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa
kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai
menggigil dan saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar teori
canggih ibuku tentang penyakit gila.
“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil mengunyah gambir dan sirih.
“Semakin
kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan
kepalanya dan menatapku seeperti sedang menghadapi seorang pasien rumah
sakit jiwa.
“Maka
orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan,
itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah
bisa masuk no. 5. Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat
dalam setiap kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil.”
Bukan
bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti bahwa
teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan
bertindak keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku
dan bagiku teori itu efektif. Aku malu sudah bertindak konyol.
Aku
tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk
memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang
kutahu pasti adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan
berjalan terkangkang-kangkang seperti orang pengkor, badannya yangb esar
membuat ia tampak seperti kingkong.
PADA
sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung kut-kut sudah
datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri melamunkan
seifat-sifat kawan
sekelasku.
Lalu aku memandangi guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima
kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia paham betul
kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat
kebijakan apa pun yang mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan
hati kami. Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda
yang luar biasa. Sebagian mereka ke sekolah hanya memakai sandal,
sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran sepatunya. Orantua kami
yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor lebih besar agar
dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.
Ada
keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku.
Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk
mengukur diri sendiri, menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa
depan, dan memersepsi pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala
pemikiran mereka kontradiktif terhadap pendapat umum laksana gurun
bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari sedang terik. Tak
jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar,
menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti
seekor parkit yang terkurung di dalam gua, kebingungan dengan gema
suaranya sendiri.
Sejak
kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku
menemukan kenyataan yang memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang
ironis. Di sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabatku yang
melarat, orang Melayu yang terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah
PN mereka yang glamor, serta PN Timah yang gemah ripah dengan Gedong,
tembok feodalistisnya. Semua elemen itu adalah perpustakaan berjalan
yang memberiku pengetahuan baru setiap hari.
Pengetahuan
terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan Muhammadiyah
bukanlah center of excellence, tapi ia merupakan pusat marginalitas
sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku
memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu,
perintis peruguran ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang
ide-ide besar Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu
meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup
dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain
melalui pengorbanan tanpa pamrih.
Maka
sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis manusia tatkala
nebula mengeras dalam teori lubang hitam, di antara titik-titik kurunnya
yang merentang panjang tak tahu akan berhenti sampai kapan, aku pada
titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur menjadi orang Melayu Belitong
yang sempat menjadi murid Muhammadiyah. Dan sembilan teman sekelasku
memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika di masa
depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat
bahagia. Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi
tentang kesenangan sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan
sendiri.
Kami
adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang
melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti
anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah
Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum,
Trapani yang rupawan, Syahdan yang lilipu, Kucai yang sok gengsi, Sahara
yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan—yaitu Samson—yang
duduk seperti patung Ganesha.
Lalu
siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan Mahar. Pelajaran
apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria-pria muda yang sangat
istimewa. Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya. Sampai di
sini, aku sudah merasa menjadi seorang anak kecil yang sangat beruntung.
Next Laskar Pelangi Bagian 10 (Bodenga)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.