Novel Laskar Pelangi Bag 16 (Puisi Surga dan Rawanan Burung Pelintang Pulau)
NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu-bambu kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat.
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari, menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja, dilematis.
Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat tidur dan shalat subuh di masjid.
Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa.
Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut, persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai.
Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan. Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam buku-buku komik Hans Christian andersen.
Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan perempuan—menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut.
Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan.
Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku “Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru? Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkat-tingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Surga begitu sepi
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya. Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang pulau.
Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Burung pelintang pulau amat asing. Para pencinta burung lokal dan orang-orang pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai burung ini. Di mana habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya langsung. Burung ini tak pernah tertangkap hidup-hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah konsekuensi dari kebiasaannya.
Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di puncak tertinggi dari pohon-pohon yang tingginya puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singgahnya pun tak pernah lama, tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati.
Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburu-buru terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak orangy ang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia. Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian besar hidupnya terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu pulau ke pulau lain yang berjumlah puluhan di perairan Belitong.
Burung yangkonon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar, karena saksi mata melihatnya bertengger puluhan meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil. Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius keberadaannya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini belum terpetakan oleh para ahli ornitologi?
Namun, burung apa pun itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk membuat tugas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya, dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies paling langka kekayaan fauna pulau Belitong itu. Sayangnya yang kami saksikan hanya dahan-dahan yang kosong, beberapa ekor anak lutung yang masih berwarna kuning, dan langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.
“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk dan penghujatan pun dimulai.
“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.” “Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun
yang sederhana Kucai menohok Mahar tanpa perasaan.
Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari-cari dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya? Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya.
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya.
“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam-ayaman tidak eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar
“Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah.”
Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita yangb aru berkemah dua hari.”
Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?
Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah penduduk.
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,” kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang persona non grata, orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membuka mata melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita akan semakin seru!
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya.
Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihan-serpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat. Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mitos yang menggettarkan.
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala orang pesisir.
Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan swebuah karya hebat yang memiliki nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme, mood-nya rusak berantakan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan.
Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.”
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.
Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17 Agustus.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 17 (Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu)
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari, menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja, dilematis.
Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat tidur dan shalat subuh di masjid.
Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba menggairahkan!
Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa.
Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut, persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai.
Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan. Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam buku-buku komik Hans Christian andersen.
Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan perempuan—menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut.
Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan.
Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku “Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru? Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkat-tingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Surga begitu sepi
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya. Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang pulau.
Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Burung pelintang pulau amat asing. Para pencinta burung lokal dan orang-orang pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai burung ini. Di mana habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya langsung. Burung ini tak pernah tertangkap hidup-hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah konsekuensi dari kebiasaannya.
Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di puncak tertinggi dari pohon-pohon yang tingginya puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singgahnya pun tak pernah lama, tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati.
Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburu-buru terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak orangy ang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia. Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian besar hidupnya terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu pulau ke pulau lain yang berjumlah puluhan di perairan Belitong.
Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain.
Burung yangkonon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar, karena saksi mata melihatnya bertengger puluhan meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil. Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius keberadaannya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini belum terpetakan oleh para ahli ornitologi?
Namun, burung apa pun itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk membuat tugas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya, dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies paling langka kekayaan fauna pulau Belitong itu. Sayangnya yang kami saksikan hanya dahan-dahan yang kosong, beberapa ekor anak lutung yang masih berwarna kuning, dan langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.
“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk dan penghujatan pun dimulai.
“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.” “Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun
yang sederhana Kucai menohok Mahar tanpa perasaan.
Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari-cari dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya? Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya.
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya.
“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam-ayaman tidak eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar
“Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah.”
Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita yangb aru berkemah dua hari.”
Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?
Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah penduduk.
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,” kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang persona non grata, orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membuka mata melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita akan semakin seru!
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya.
Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihan-serpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat. Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mitos yang menggettarkan.
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala orang pesisir.
Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan swebuah karya hebat yang memiliki nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme, mood-nya rusak berantakan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan.
Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.”
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.
Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17 Agustus.
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 17 (Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.