Laskar Pelangi Bag 7 (Zoom Out)
TAK disangsikan, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di-zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
Hanya
beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras
seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak
keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak
era pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong
hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum
berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak
menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak
punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
Di
luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah
negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di
sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan
rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli
Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin
merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau
karena tak punya uang.
Di
antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang
logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik,
KUA, masjid, kantor pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa
perencanaan yang masuk akal sehingga menjadi bangunan kosong telantar,
tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu dipenuhi pengunjung,
dan rumah panjang suku Sawang.
Komunitas
Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai toko.
Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu
ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak
belukar yang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di
mana tergenang air mati berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok
dan ayam kampung berkeliaran seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap
tanaman bunga kesayangan sehingga sering menimbulkan keributan kecil.
Jalan
raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar-bingar oleh suara logam
yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai
peralatan teknik eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut
sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih
di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri,
pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang
waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk,
kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak
teratur, tak berseni, dan kusam.
Keseharian
orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak
sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul
7 kurang 10. Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan
kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.
Demi
mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil,
sudut-sudut kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan
gang-gang sempit bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri
jalan raya. Mereka berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam
rombongan besar atau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja
dimulai. Jumlah mereka ribuan.
Mereka
menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak,
gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang
bekerja shift di kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak
truk terbuka seperti sapi yang akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul
7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu
tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali lengang,
sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya
dihuni kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum
sekolah. Kampung kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita
itu memainkan orkestra menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke
dalam lumpang kayu bertalu-talu, sahut-menyahut dari rumah ke rumah.
Pukul
12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat.
Dalam sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar
membuat mereka tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar,
lebih tergesa dibanding waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang
sirine berdengung lagi memanggil mereka bekerja. Para kuli ini akan
kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine yang sangat panjang
tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan tahun
lamanya.
TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert.
Bagi mereka semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan
enggan melaut, menu utama itu adalah ikan gabus. Para kuli yang
bernafsu makan besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan
seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak
jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah
diguyur semangkuk gangan, yaitu masakna tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan emreka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.
Setiap
subuh para istri meniup siong (potongan bambu) untuk menghidupkan
tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul
keluar melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang
dipelihara di bawah rumah panggung. Asap itu membuat penghuni rumah
terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang
dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai-juntai seperti
cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi.
Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgrey atau cappuccino, melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari.
Apabila
persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka
menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk
sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk
makan malam, seluruhnya terbuat dari ikan gabus.
DI
luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besar adalah wilayah
rural atau pedesaan. Daerha ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer
menuju ke barat ibu kota Kabupaten: Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah
selatan akan menelusuri jalur ke pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur
berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan lama-kelamaan menjadi
jalan tanah setapak yang berakhir di laut.
Di
sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan
dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang mereka berladang di hutan.
Belanda menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah
dikendalikan tentu saja. Orang-orang pedesaan ini hidup bersahaja,
umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan mendapat bonus musiman dari
siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar. Mereka mendiami
tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar tanah
tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang
lengkap, dan aliran air bening yang belum tercemar.
Kekuatan
ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta
yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati
strata tertinggi
dalam
lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga
ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik
yang korupsi kecil-kecilan, dan aparat penegak hukum yang mendapat uang
dari menggertaki cukong-cukong itu.
Sisanya
berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat
mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor
desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ
tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang
Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru
dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali
guru dan kepala sekolah PN.
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.