Laskar Pelangi Bag 5 (The Tower of Babel)
JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama
sekali
berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati
ddan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun
mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di Belitong mereka
beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh datang ke Jinchanying kalau
hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
Persis
bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini
berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan
peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas
tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam
tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp
Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina yang melindungi
berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong
tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah
pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial.
Di
balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu
negeri asing yang jika berada di dalmanya orang akan merasa tak sedang
berada di Belitong. Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN.
Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara)
Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan
sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau
kecil itu.
Suatu sore seorang
gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling kampung dengan
sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia
mencibir.
“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orang-orang muda demikian malas seperti di sini.”
Ha?
Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang
bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material
tambang!
LAKSANA
the Tower of Babel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga
yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600
tahun lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di
tanah yang sekarang disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading
kemakmuran berkah Tuhan yang
menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung tangan.
Orang
Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium,
hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena
dilumuri ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong
tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah
dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah
citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan membentuk
semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para
nakhoda.
Tuhan
memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke
pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah
dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu
sendiri. Adakah mereka telah semena-mena pada rezeki Tuhan sehingga
nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa Lemuria?
Kilau
itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran
secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt.
Jika disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti
familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang
berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri, kecil, bersinar, indah, dan
kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar dan Karimata
bak mutiara dalma tangkupan kerang.
Dan
terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang
dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material
ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang melimpah ruah: granit,
zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit, hematit, clay,
emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya
berlapis-lapis, meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah
panggung kami. Kekayaan ini adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling
tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas, … material terbaik untuk
superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan laboratorium roket
NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan dasar
produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal,
bahkan kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua
ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli
Melayu Belitong yang
hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi.
Belitong
dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel
yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyhur
di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku
geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah
dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real
estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik,
rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf,
kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan
Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset
triliunan rupiah.
PN
merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak
kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di
Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak
terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat
dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih
pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan
16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi
bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah
laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan
dinosaurus.
Di
titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya
mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang
ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform
infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi
terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda.
Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang
sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di
Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah
ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects.
Next Bagian 6 (Gedong)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.