Laskar Pelangi Bag 3 (Inisiasi)
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami
memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore
untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol
selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama,
bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD
dan SMP itu.
Kami
kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah
memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak
P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau
gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih,
berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat
pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan
besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.
Sekolah
Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas
sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang
pria yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah
tabung aluminium besar dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia
seperti akan berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas
kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih
tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak-sorak
kegirangan.
Sekolah
kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri.
Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang
tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang
tergantung miring di dekat
lonceng.
Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan
tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna
putih. Di tengahnya tertulis:
SD MD
Sekolah Dasar Muhammadiyah
Lalu
persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti
setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu
bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama
warga Muhammadiyah. Kata-kata itu melekat dalam kalbu kami sampai
dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal seperti kami mengenal bau
alami ibu-ibu kami.
Jika
dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang
kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka
sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang
menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan
jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka
kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di
dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian
seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak
memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar
seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan
itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di
belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan.
Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai
jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi
meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan
agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan
di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke
langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa
wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang
tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar
membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
Maka
pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang
atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam
dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah
kami. Lebih menarik membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang
rela menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang
itu tentu saja kepala sekolah kami Pak K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A.
Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul
Hamid.
Pak
Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya
tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang
kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom
Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh
belas bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan
sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang
awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera
menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi
Rah, R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya.
K.A.
pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam
garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun
keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan
pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah
Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau
menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan
rumahnya.
Hari
ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau
tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih
kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan
beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering
dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit
tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah
dipakai sejak beliau berusia belasan.
Karena
penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama
kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental
bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara,
tak dinyana, meluncurlah mutiara-
mutiara
nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer
sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat
singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah
kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta
pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak ….”
Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.
Cerita
selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman
Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah
tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan
ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah
wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat kematian
kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang
sambil menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan
firasat mimpi seorang penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam
kehebatan perang Badar.
Mendengar
teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami
ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang
halus dalam kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam
detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela
perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang
berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria
bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah
payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah,
mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah
sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh seperti K.A.
Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habis-habisan
melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. Sekolah
ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra
Selatan.
Pak
Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus
setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan
gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik
terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit
getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra,
bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam
mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang
mengerti.
Pak
Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang
sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak
hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi
menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering
menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas
kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa
minta hujan.
Ketika
mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap
kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah
anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di
telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang
pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu,
lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau
menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui
kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan.
Beliau mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami
tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan
kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang
keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk
mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian
bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban
untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam
menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa,
yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk
menerima sebanyak-banyaknya.
Kami
tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk
rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya
jernih dan kata-katanya
bercahaya.
Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar
menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung
didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah
terselamatkan karena orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai
pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di
sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di
sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu
kemewahan sekolah lain.
Setiap
kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami
berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak
bertanya, dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban.
Sayangnya bapak yang penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam
dengannya terasa hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya
ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas
darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat kami
menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama
kami masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami
untuk membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
Kelas
diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya
tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak.
Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main. Sekarang di
sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tangan
kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya tadi ditumpahkan
Sahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu.
A
Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum.
Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin
menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A
Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia terus tersenyum dan hanya
tersenyum saja.
“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
Namun
sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia
berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat
membaca pikiran ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan
namamu! Paling tidak sebutkan
nama
bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak
Tionghoa berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun,
strata ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di
Belitung.
Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk.”
A
Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia
tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor
dua: jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun.
Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.
Next Bagian 4 (Perempuan Perempuan Perkasa)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.